Kakawin Arjuna Wiwahan Gubahan Mpu Kanwa: Sebauh Karya Monumental Pujangga Jawa Kuno
- Kakawin Arjuna Wiwaha
Menurut P. J. Zoetmulder dalam bukunya yang berjudul Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, dalam kakawin Arjuna Wiwaha gubahan Mpu Kanwa akan dijumpai puisi kakawin yang sempurna. Kakawin ini dikatakan sempurna karena penyair dalam melukiskan ceritanya dapat membatasi diri, dialog-dialognya hidup, tema-temanya beraneka ragam, serta bahasa dan gayanya relatif polos. Meskipun demikian, kakawin ini tidak mudah diterjemahkan atau ditafsirkan. Hal tersebut dimungkinkan karena kurang memahami bahasa Jawa Kuno.
Dalam kakawin Arjuna Wiwaha, Mpu Kanwa menuliskan Airlangga sedang melakukan ‘pertempuran, operasi militer, perang’. Ada indikasi kalau Mpu Kanwa menulis kakawin tersebut ketika Airlangga sedang melakukan perang, mengalahkan Raja Wengker dan para sekutunya, antara tahun 1028-1035. Airlangga hidup di sebuah pertapaan selama beberapa tahun dan ia telah mencapai kemanunggalan dengan mahadewa. Ia ditugasi untuk kembali ke dunia dan membaktikan diri dengan tugas yang berat. Rupanya MpuKanwa ingin mengisyaratkan bahwa kemenangan Arjuna (Arjunawiwāha: Pernikahan Arjuna) sama dengan kemenangan Airlangga. Berg dalam P. J. Zoetmulder (1974: 311) berpendapat bahwa kakawin Arjunawiwāha merupakan riwayat hidup Airlangga dan perkawinannya. Hal ini bertentangan dengan pernyataan sebelumnya,yaitu ‘pertempuran, operasi militer, atau perang’. Tafsiran ini dipersoalkan karena ‘ekspedisi militer’ yang dimaksud adalah suatu kiasan hubungan antara suami istri dalam mahligai rumah tangga.
- Perbandingan Cerita dan Sikap Pujangga
Terdapat sebuah penggalan cerita dalam epos India tentang terciptanya bidadari Tilottama. Pada kakawin, Tilottama adalah Suprabha. Pada epos India, setelah para bidadari tercipta, mereka menghormati para dewa. Brahma dan Indra menggunakan banyak mata, sedangkan pada kakawin yang menggunakan banyak mata adalah Siwa (Rudra). Mengapa demikian? Menurut saya, Brahma adalah sosok yang ingin diagungkan wataknya oleh sang pujangga. Artinya, Brahma adalah seorang pemimpin, seorang figur publik, dan orang terhormat, sehingga harus terjaga kewibawaannya.
Pengarang kakawin Arjuna Wiwaha tidak mengikuti sumber-sumber cerita dari India atau melakukan penggubahan dengan fantasinya sendiri. Hal tersebut disebabkan adanya tradisi Jawa yang mempengaruhi pemikiran dan imajinasi sang pujangga. Pada saat kakawin ini disusun, pertunjukkan wayang kulit sudah familiar di masyarakat luas, khususnya Jawa.
Terakhir, ada satu hal lagi yang perlu dikritisi. Cerita dalam kakawin ketika Arjuna bertapa, para bidadari berusaha menggodanya. Akan tetapi, dalam cerita di India, yang menggoda Arjuna adalah para penghuni (roh-roh) lereng gunung Indrakila. Menurut pandangan saya, ada nilai-nilai luhur Jawa yang dimasukkan. Hal tersebut terkait petuah untuk waspada terhadap satu hal yang bisa membahayakan, yaitu wanita. Wanita bagi orang Jawa dalam adalah “perhiasan” yang tampak indah dan memesona, tetapi bisa juga berubah menjadi “racun” jika kaum Adam tidak bisa memperlakukannya secara baik.
- Nilai Kepahlawanan dalam Arjuna Wiwaha
Persamaan yang tampak nyata antara Mahabharata dan Arjuna Wiwaha adalah semangat kepahlawanan yang menjadi sendi pokok dalam membangun semua struktur dan wajah puisi epik. Tidak hanya tokoh Arjuna yang mempunyai semangat heroisme, tetapi juga tokoh-tokoh lain, seperti Niwatakawaca, Indra, Supraba, dan Tilotama. Terdapat sesuatu yang unik dalam kakawin karya Mpu Kanwa, yakni dalam sejumlah pupuh diceritakan secara leluasa adegan-adegan yang jauh dari nuansa “perang”. Hal tersebut merupakan suatu bentuk “penyimpangan kreatif”. Penyimpangan tersebut adalah adegan erotis pada penyandraan adegan antara Arjuna dengan para bidadari dan antara Niwatakawaca dengan Supraba.[2] Penceritaannya mungkin dituliskan secara tidak fulgar, karena melalui majas metafora dan personifikasi, seperti dengan memainkan peran flora dan fauna untuk dimasukkan ke dalam kakawin tersebut.
- Ironi Karya Sastra Jawa Kuno
Tradisi sastra Jawa Kuno tidak menyimpan kritik sastra (baca: segmen sastra yang mengupas karya sastra). Hal ini menunjukkan bahwa sastra yang hidup dalam tradisi Jawa tidak butuh kritik sastra. Kehidupan sastra Jawa memang mempunyai tradisi panjang tanpa kritikan, tetapi dapat lestari. (Linus Suryadi AG, 1995: 12). Lalu, pertanyaan yang muncul dalam benak saya adalah apakah masyarakat Jawa tidak suka dikritik?
Sumber:
AG, Linus Suryadi. 1995. Dari Pujangga ke Penulis Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zoetmulder, P. J., 1974. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar