Kamis, 23 April 2015

etika dalam sarasmuscaya

amanis-manisi ring wwang kasyasih, ndan sinapa wani kang hati ring jro kadi kartra kartra ngaranya gunting, kadi landep ing pamangan ing gunting alanya, tibra ning irsya kumrenges kanugel griwa ning sadhu kasyasih, dahat anglarani, padanya kadi madhu mawor lawan racun, tuhun ing amanis-hala nikamatyani, yeka dustalaksanangaranya, saksat pawak ing sisa kalakuta, yeka rupa ning dasar ing kawah sangksepanya, tan ulaha sang jnama paromottama ika, ling sang hyang sastragama (S.t.34) Terjemahan : Ada orang yang air mukanya manis menarik dan seperti tenangnya bunga teratai yang sedang mekar, kata-katanya sejuk seperti meresapnya sejuk air cendana yang dilepaskan pada badan. Ia manis dan penyayang tampaknya terhadap orang sengsara dan kemalangan. Walaupun tampaknya ia dapat dianggap sebagai pahlawan, namun sebenarnya, hatinya setajam gunting. Dalam mendekati ia itu sangat menakutkan. Dengan gigi dikeratnya ia patahlah leher orang-orang yang baik budi yang patut disayangi itu. Ia menyebabkan penderitaan yang maha hebat, yaitu sama dengan madu dicampur racun. Sebenarnya kemanisannya itulah kejahatan yang tidak kenal ampun. Sebenarnya ia racun terjahat dalam bentuk manusia, penjelmaan dasar neraka. Kesimpulannya orang yang lahirnya mulia janganlah berbuat semacam ini. Inilah nasehat suci. Demikianlah gambaran sifat-sifat orang buruk budi. Masih ada gambaran sifat-sifat buruk yang lebih panjang lebar dari uraian diatas ini yaitu pada ayat 84 kitab Slokatara yaitu sebagai berikut : Nihan ambek dasa malanya. Tan yogya ulahakena lwirnya, tandri, kleda, leja, kuhaka, metraya, megata, ragastri, kotila, bhaksa-bhuwana, kimburu, tandri nga. Wwang sungkanan, leson balebeh sampeneh adoh ing rahayu, anghing hala juga kaharepnya, kleda nga, ambek angelem-elem, merangan maring harep, tan katekan pinaksanya, leja nga. Ambek tamah, agong trsna, agong lulut asih, maring hala, kutila nga. Parachidra, pesta peda ring kawelas asih, pramada pracale, norana wwang den keringi, kuhaka nga. Ambek krodha. Agong runtik, capala sabda bangga poraka, metraya nga. Bisagawe ujar mahala, sikara dumikara, wiwiki wiweka, sapa kadi sira, botarsa rabi ning arabi, tan hana ulahnya rahayu, yan metu sabdanyaarum amanis anghing hala ri dalem, tan papilih buddhi cawuh, kala ri hatinya purikan, raga stri nga. Bahud lanji, wawadonen, rambang panon, bhaksa bhuwana andenda sasama ning tumuwuh, akirya ring wwang sadhu, ardeng pangan inum, hangkara sabda prengkang, kimburu nga. Anghing gawene akirya-kirya drewe ning wwang sadhu, tan papilih, nora kadang sanak mitra, nyata memet drewe ning sang wiku. Mangkana karma ning dasa mala. Tan rahayu. (S.t.84) Terjemahan : Inilah sifat-sifat dasa mala yang tidak layak dilakukan, yaitu : - Tandri yaitu orang yang malas, lemah, suka makan dan tidur saja, enggan bekerja, tidak tulus dan hanya ingin melakukan kejahatan. - Kleda artinya suka menunda-nunda, pikiran buntu dan tidak mengerti apa sebenarnya maksud-maksud orang lain. - Leja artinya pikiran selalu diliputi kegelapan bernafsu besar. Ingin segala dan gembira jika melakukan kejahatan. - Kutila artinya menyakiti orang lain, menyiksa dan menyakiti orang miskin dan malang, pemabuk dan penipu. Tidak seorangpun berkawan baik dengannya. - Kuhaka artinya orang pemarah, selalu mencari-cari kesalahan orang lain, berkata asal berkata dan sangat keras kepala. - Metraya artinya orang yang hanya dapat berkata kasar dan suka menyakiti dan menyiksa orang lain, sombong pada diri sendiri, “siapa dapat menyamai aku” pikirnya. Ia suka mengganggu dan melarikan istri orang lain. - Megata artinya tidak ada tingkahnya yang dapat dipuji. Meskipun ia berkata atau kata-katanya manis dan merendah, tetapi dibalik lidahnya ada maksud jahat. Ia tidak merasakan kejelekannya, berbuat jahat, menjauhi susila, ia kejam. - Ragastri artinya suka memperkosa perempuan baik-baik dan memandang mereka dengan mata penuh nafsu. - Bhaksa bhuwana artinya orang yang suka membuat orang lain melarat. Ia menipu orang jujur. Ia berpoya-poya dan berpesta-pesta melewati batas. Ia sombong. Kata-katanya selalu menyakiti telinga. - Kimburu artinya orang yang menipu kepunyaan orang jujur. Ia tidak peduli apa mangsanya itu keluarga, saudara atau kawan. Ia tidak segan mencoba mencuri milik para pendeta. Inilah tingkah orang yang melakukan kesepuluh dosa itu. Ini tidak bagus. Demikian gambaran kecenderungan-kecenderungan sifat baik dan buruk dalam Slokantara. 2.2.3 Etika Hindu menurut Slokantara Dalam ajaran etika dalam uraian ini disajikan uraian tentang : 1) Satya dan Dharma Sejak jaman Veda ajaran satya ini sudah dijunjung tinggi dan kemudian berkembang dalam ajaran-ajaran yang menyusul kemudian. Dalam kitab Slokantara Satya dikaitkan dengan ajaran dharma. Satya adalah Dharmama yaitu dharma yang termulia. Tak ada yang lebih mulia dari pada satya dalam prilaku sebagai manusia. Dalam kitab Slokantara sloka 1 kita baca tentang satya ini seperti dibawah ini : Brahmano va manusyanamadityo vapi tejasam, Siro va sarwa gatresu dharmesu satyamuttaman. Terjemahan : Sebagai halnya golongan Brahmana diantara manusia, sebagai halnya matahari diantara sumber cahaya, sebagai halnya kepala diantara anggota badan, diantara dharma, kebenaranlah yang paling mulia. Barang siapa yang melanggar satya berarti melanggar dharma, karena satya adalah dharma. Tentu saja orang yang melanggar satya akan tidak menemukan kerahayuan karena kodratnya sudah demikian. Karena itu kitab Slokantara berulang-ulang menyebut dan menyuruh kita melakukan dharma karena hanya dengan demikianlah orang dapat diseberangkan dari kesengsaraan menuju kebahagiaan. Itulah sebab kitab Slokantara menyuruh : “Kerjakanlah dharma” Anityam yauvanam rupam anityo drawya samcayah, Anityah priya samyogastasmad dharma samacaret. Kalinganya, ikang kayowanan mwang rupa, tan lana jatinya, ikang kasugihan samuha ning drwya, tan lanai ka mwah ikang wwang amangan aturu lawan rabinya tan lanai ka, matangnyan ulahakna dharma juga, tan angalah-alaha samaning dadi janma, wenang matakwan salwir ing sinangguh dharma sasana ri sang pandita marapwan tan anemu papa, mangkana karma ning dadi janma. (S.t.9) Terjemahan : Adapun keremajaan dan wajah yang tampan tidak kekal itu, sebenarnya. Kekayaan, semua hak milik tidak kekal itu dan orang yang makan dan tidur bersama istripun tidak kekal keadaannya. Oleh karena itu dharmalah yang pertama-tama harus diusahakan dan diperbuat. Sungguh tidak ada cacatnya menjadi manusia kalau senang menanyakan segala apa yang dinamakan dharma sasana pada sang pandita agar supaya tidak menemui beraka. Demikian sepatutnya hal ikhwal menjadi manusia. 2) Catur Paramita Catur paramita itu adalah ajaran tentang cinta kasih kepada semua makhluk. Kitab Sanghyang Kamahayanikan menyajikan catur paramita, versi lain dari ajaran tat twam asi. Kami sajikan catur paramita seperti dibawah ini : Catur paramita ngaranya : Metri, karuna, mudita, upeksa. (S.K.68) Terjemahan : Catur paramita namanya : - Metri , - Karuna, - Mudita, - Upeksa. Metri ngaranya parahitakakrtwa, akara ning jnana sang satwa wisesa. Sang satwa wisesa ngaranya : sang tumaki-taki sat paramita, mwang catur paramita, sira ta satwa wisesa ngaranira. Akara ning jnana nira gumawe haywa ning para. Para ngaranya : sarbwa, stwa, kanisthamadhyamottama, ikang sih ning para tan phalapeksa, ya ta metri ngaranya. Terjemahan : Metri namanya : parahitakakrtwa, bentuk kesadaran sang satwa wisesa. Sang sattwa wisesa namanya ialah orang-orang yang benar menekuni sat paramita dan catur paramita, ia itulah sattwa wisesa namanya. Bentuk kesadarannya ialah mengusahakan kerahayuan para. Para namanya ialah semua makhluk yang rendah, sedang dan utama. Kasih sayang kepada semua makhluk tanpa mengindahkan kasih, disebut metri. Karuna ngaranya : paradubkhawiyogecca, akara ning jnana. Sang satwa wisesa ahyun hilangani dukha ning sarbwa satwa, Terjemahan : Karuna namanya ialah paraduhkhawigecca, yaitu bentuk kesadaran sang satwa wisesa yang menghendaki lenyapnya kesadaran semua makhluk. Mudita ngaranya : parahitatustih satwawisesasya jnanasyakatah, inak ng akara ni jnana sang satwa wisesa, telas pagawayan ira metri karuna, mudita ngaranya. Terjemahan : Mudita namanya : parahitatustih sattva wisesasya karah ialah rasa senangnya batin sang satwa wisesa karena bahagianya semua makhluk sesudah melakukan metri, karuna. Itulah mudita namanya. Upeksa ngaranya : labhanapeksa satwawisesasya, jnanasyakarah akara ni jnana sang satwa wisesa tanpa upeksa labha ngaranya : tan wawarengo ni jnana sang satwa wisesa ring welas, pujastuti gawayaken ikang metri karuna mudita ring satwa, makanimitta katonan I duhka ning satwa, yogya pagawayana upeksa. Terjemahan : Upeksa namanya : labhanapeksa satwawisesasya jnanasyakarah, ialah bentuk kesadaran batin sang satwa wisesa yang tidak mementingkan hasil. Tanpa upeksa labha namanya ialah kesadaran batin sang satwa wisesa yang tidak menghiraukan akan balasan, pujian-pujian, apalagi harta benda. Beliau mengerjakan metri, karuna, mudita pada semua makhluk, yang menyebabkan tampaknya kesengsaraan semua makhluk maka patut pula upeksa supaya dikerjakan. 3) Sapta Timira Apabila rasa aku berkuasa atas diri orang maka ia dapat menjadi takabur, congkak lupa daratan. Rasa aku yang tak terkendali membawa orang pada kehinaan, kerendahan budi, karena bentuk penampilannya adalah bentuk congkak, tidak hormat kepada sesame , mementingkan diri sendiri, tidak tahu tenggang rasa dan sebagainya. Slokantara menyebutkan ada tiga sumber kemabukan yaitu : minuman keras, kepandaian dan kekayaan. Hal ini disebutkan dalam sloka 21 seperti berikut : Sura saraswati laksmi, Ityata madakaranam, Mada yanti na cetamsi, Sa eva puroso matah. Kalinganya, ikang amuraha wero ring dadi wwang, tiga lwirnya, ndya ta, sura ngaranya twak, saraswati ngaranira sanghyang aji, laksmi ngaran ira kasugihan, mas pirak, ika ta karana ning wero munggwing citta, kunang yan hana wwang tan kataman wero dening twak, de ning bisanyangaji, dening kasugihan mas piraknya, yeka purusa ngaranya, yan hana wwang mangkana, byakta kinahyunaning rat, ling sang hyang aji. (S.t.21) Terjemahan : Keterangannya, yang menyebabkan orang menjadi mabuk, tiga macamnya yaitu : - Sura yaitu tuak, - Saraswati yaitu pengetahuan, - Laksmi yaitu kekayaan, seperti mas dan perak. Itulah yang menyebabkan mabuk pikiran orang. Bila ada orang yang tidak kena mabuk karena tuak, karena pengetahuan, karena kekayaan mas perak, maka ia disebut purusa, manusia sejati. Bila ada orang yang demikin itu, benar-benar ia akan dicintai oleh masyarakat. Jadi bukan saja tuak atau minuman semacam itu yang menyebabkan orang mabuk, namun juga pengetahuan dan kekayaan dapat menyeret orang memasuki dunia mabuk, sehingga lupa akan diri. 4) Sangsarga Selain sebagai makhluk individu, manusia itu adalah juga makhluk berteman, didalam hidup berteman itu terjadilah interaksi antara seseorang dengan seseorang, antara seseorang dengan kelompok. Interaksi itu dapat membentuk pribadi seseorang, disamping pembawaan lahirnya. Selain itu suasana lingkungan juga dapat membentuk pribadi seseorang. Suasana lingkungan dapat membentuk pribadi yang baik tetapi juga dapat mendorong orang-orang terperosok jatuh ke dasar kehinaan. Disini kitab Slokantara memberi contoh mengenai pengaruh lingkungan terhadap kehidupan, akan dijelaskan sebagai berikut : Gavasananam sa girah sronoti Aha tu rajan muninam sronomi, Pratyaksametad bhavatasi drstam, Samsargaja dosaguna bhavanti. Kalinganya, yan hana wwang masangsarga lawan wwang nica, niyata nika katularan budhi durjana nica, mangkana yan asangsarga lawan ikang wwang sadhu, katularan buddhi sadhu, drstopamanyatah, kadyangga nikang atat rwang siki, mangaran si Gawaksa mwang si Giwaksa, iakng asiki inalap ing taha buru, iningu nika, ikang asiki, inalap de sang pandita, iningu nira, karhancit hana ta sira ratu maburu-buru, kasasar ta sira prihawak, kawawa marery umah ning tuha buru, kahanan ikang atat si Girika, mojar tekang atat ring sang prabhu, lingnya, ndah mah tamah, siwak kapalanya, mangkana ta wuwus nikang atat, karengo de sang prabhu, alayu ta sira rumengo wuwusnya, ri wekasan ta sira, kawawa mareng patapan sang pandita, ri kahanan ikang atat si Gawaksa, dingaryan ta rahadyan sanghulun kasepera ring patapan, araryan ta laki, alungguha ring widig anar, manginanga wwah apiji, mwang sere anar, apuh mentah, yapwan anghel rahadyan sanghulun, masamwa ‘sri maharaja irikang wulakan, mangka ling nikang atat ri sira, kascaryan ta manah nira sang prabhu, rumengwaken ujar ikang atat, ri wekasan ta sang prabhu, matakwan ri sang pandita, nikang atat iningunira, mojar ta sang pandita, yan kawana de ning sangsarga nika, sangksepa nika sang sadhujana, haywa sira tan pamilipi sangsarga nira, ikang sayogyamuwuhana guna ri sira, haywa sira masangsarga lawan ikang wwang durjana, apan amawa mareng kawah ling sang hyang aji. (S.t.45) Terjemahan : Jika ada orang bersahabat dengan orang yang rendah budinya tentulah orang itu akan kena pengaruh budi yang rendah dan jahat. Demikian pula jika bersahabat dengan orang yang baik budi akan kena pengaruh budi baik. Contohnya seperti halnya dua ekor burung atat yang bernama si Gawaksa dan si Giwika, yang satu ditangkap oleh seorang pemburu dan dipelihara, dan seekor lagi ditangkap oleh seorang pendeta dan dipeliharanya. Pada suatu hari ada seorang raja berburu, tersesatlah beliau seorang diri, terlunta-lunta hingga sampailah beliau dirumah seorang pemburu, tempatnya burung atat si Girika. Berkatalah burung atat itu kepada sang prabhu, katanya : “ah itu dia, makan, belah kepalanya”. Demikianlah kata burung atat itu, terdengarlah oleh sang prabhu, larilah beliau itu, sampai dipertapaan sang pendeta, tempatnya burung atat si Gawaksa. Berkatalah burung itu, katanya : “Duhai, bahagialah tuanku raja! Sayang tuanku terlunta-lunta sampai dipertapaan ini, silahkan istirahat dan duduk dibalai-balai yang baru itu, sambil makan buah ampiji, sirih muda, kapur mentah. Bila tuanku letih, silahkan tuanku mandi dikolam itu” Demikianlah kata burung atat itu kepada baginda. Heranlah hati baginda raja mendengar kata-kata burung atat itu. Pada akhirnya baginda raja bertanya kepada sang pendeta, tentang burung atat yang dipeliharanya itu. Menjawablah sang pendeta : “Sesungguhnya hal itu disebabkan oleh karena persahabata, kesimpulannya bagi orang yang baikbudi janganlah ia tidak memilih sahabat, pilihlah yang dapat menambah kebijaksanaan janganlah ia bersahabat dengan orang jahat, sebab orang yang akan mengantar ke neraka. Demikianlah ajaran agama menyebutkan. 2.3 Etika Hindu dalam Nitisastra Selain sebagai ilmu politik, sesungguhnya Niti Sastra lebih banyak mengajarkan ilmu pengetahuan tentang etika, moralitas serta budi pekerti, tata pergaulan hidup dengan semua makhluk dan bagaimana memusatkan perhatian atau pelayanan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal ini boleh jadi karena Maharesi Canakya disamping menulis buku Niti Sastra yang berisi ajaran tentang etika dan moralitas, juga menulis buku Artha Sastra yang berisi ajaran mengenai ilmu politik dan pemerintahan. Dalam kamus pun Niti Sastra lebih didahulukan pengertiannya sebagai ilmu etika, moralitas dan sopan santun, meski pada akhirnya diartikan juga sebagai ilmu politik. Niti Sastra dengan kata Niti memang berarti to lead, memimpin, membimbing, mendidik orang bagaimana bergaul dan bertindak serta bagaimana mengembangkan cinta kasih dan bhakti kepada Tuhan. Dalam hal ini orang dibimbing kearah kebaikan, kejalan terang, kearah cinta bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa (geogle, 3/7/2012, 13:19). Dibawah ini akan dijelaskan mengenai etika berguru sebagai berikut : Canakya Nitisastra, Adhyaya V. Sloka 1: " Guru Agnir Dvijatinam, Varnanam Brahmana Guruh, Patireva Guruh Strinam, Sarvasya Bhayagato Guruh". Terjemahan. "Dewa Agni adalah Guru bagi para Dwijati (Sang Sadaka), Varna Brahmana adalah Guru bagi Varna Ksatria, Waisya dan Sudra, Guru bagi seorang istri adalah suami, dan seorang tamu adalah Guru bagi semuanya". Sloka Canakya Nitisastra ini merupakan sebuah pedoman bagaimana etika berguru, ajaran bhakti, sehingga terjadi sebuah tatanan kehidupan yang harmonis, etika sosial dengan saling menghargai satu sama yang lain dan oleh Catur Varna bukan justru dijadikan sebagai stratifikasi sosial untuk mempertahankan status Co. Tetapi intisari pesan dari Sloka ini adalah ada pada baris pertama dan terakhir bahwa sesungguhnya semua harus berguru kepada Agni (Tuhan) dan semua harus berguru kepada Tamu. Kata Tamu ini adalah spirit yang ada diluar diri manusia, siapa spirit itu ? yaitu seluruh sekalian alam (Tuhan) (geogle, 3/7/2012, 13:20). BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak Etika Hindu yang tersirat dalam kitab seperti dalam : 1. Sarasamuccaya Ajaran etika dalam Sarasamuccaya menguraikan tentang Catur Purusa Artha, Tri kaya, Tentang pergaulan, Hormat kepada orang lain dan orang tua, Ajaran tentang dasa yama dan dasa niyama. 2. Slokantara Ajaran Etika dalam Slokantara menguraikan tentang satya dan dharma, catur Paramita, sapta timira, dan sangsarga. 3. Nitisastra Selain sebagai ilmu politik, sesungguhnya Niti Sastra lebih banyak mengajarkan ilmu pengetahuan tentang etika, moralitas serta budi pekerti, tata pergaulan hidup dengan semua makhluk dan bagaimana memusatkan perhatian atau pelayanan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Adapun etika berguru seperti tersirat di bawah ini Canakya Nitisastra, Adhyaya V. Sloka 1: " Guru Agnir Dvijatinam, Varnanam Brahmana Guruh, Patireva Guruh Strinam, Sarvasya Bhayagato Guruh". Terjemahan. "Dewa Agni adalah Guru bagi para Dwijati (Sang Sadaka), Varna Brahmana adalah Guru bagi Varna Ksatria, Waisya dan Sudra, Guru bagi seorang istri adalah suami, dan seorang tamu adalah Guru bagi semuanya".

1 komentar:

  1. 1xBet Korean Ruling - Online Sports Betting
    Sportsbooks for Asia can be found 바카라 사이트 in หารายได้เสริม Korea A sportsbook for the Asia market was launched in late 2017, but sportsbooks that are not 1xbet

    BalasHapus