Kamis, 23 April 2015

Asal Usul Nama Hindu
 BAB I PENDAHULUAN
 1.1 Latar Belakang Masalah
 Sejarah merupakan hal yang sangat perlu untuk kita pelajari. Karena dari sejarahlah kita tahu mengenai apa, bagaimana suatu hal terjadi dan ada. Seperti sejarah mengenai terbentuknya kesepakatan nama hindu. Kita tidak pernah tahu secara jelas kapan terbentuk nama Hindu dan apa itu Hindu. Menurut R. Antoine sangatlah sulit untuk mendefinisikan Hinduisme, karena “Hinduisme bukanlah satu agama dengan syahadat tunggal yang harus dipatuhi oleh semua orang. Hinduisme lebih merupakan sebuah federasi berbagai pendekatan terhadap realitas yang berada di balik kehidupan”. Selain pluralitas doktrin, aliran serta latihan, ada dua unsur yang membuat elaborasi definisi menjadi sulit. Pertama Hinduisme tidak memiliki pendiri seperti dalam Buddhihisme, Kristen dan Islam. Kedua Hinduisme tidak memiliki tubuh otoritas yang merumuskan batas-batas dogma. Maka dari itu sangat sulit untuk mendefinisikan Hindu itu. Oleh karena itu disini kami akan menjelaskan mengenai asal-usul nama Hindu 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimana asal usul terbentuknya kesepakatan kata Hindu? 1.2.2 Bagaimana perkembangan Agama Hindu? 1.2.3 Bagaimana seberapa besar penganut Agama Hindu setelah terbentuk kesepakatan kata Hindu? 1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Untuk mengetahui asal usul terbentuknya kesepakatan kata Hindu. 1.3.2 Untuk mengetahui penyebaran Agama Hindu. 1.3.3 Untuk mengetahui seberapa besar penganut Agama Hindu setalah terbentuk kesepakatan Hindu BAB II PEMBAHASAN 2.1 Terbentuknya sebuah Kesepakan Kata Hindu Pendiri Hinduisme tidak diketahui dan titik awalnya merujuk pada masa pra-sejarah. Hinduisme juga merupakan tradisi religious utama yang tertua. Menurut Yong Choon Kim, Hinduisme juga seringkali disebut sebagai agama ahistoris dan nonhistoris, karena tidak memiliki awal sejarah dan tidak ada pendiri tunggal. Menurut tradisi, seseorang tidak dapat menjadi seorang Hindu kecuali ia dilahirkan dalam keluarga Hindu. Nama asli dari agama ini adalah Sanatana Dharma atau Vaidika Dharma. Kata Sanatana Dharma berarti Agama yang bersifat abadi dan akan selalu dipedomani oleh umat manusia sepanjang masa, karena ajaran yang disampaikan adalah kebenaran yang bersifat universal, merupakan santapan rohani dan pedoman hidup manusia yang tentunya tidak terikat oleh kurun waktu tertentu (Pasek, 2012 : 5). Tidak banyak yang tahu soal asal mula agama Hindu. Hal ini karena sejarah agama tersebut telah ada sebelum masa penulisan sejarah berkembang. Agama Hindu diyakini terbentuk dari beberapa keyakinan yaitu, keyakinan bangsa Arya dan keyakinan bangsa Dravida. Agama ini tidak seperti agama-agama lain, dalam agama Hindu tidak dapat diketahui secara pasti siapa pembawa pertama ajaran-ajarannya. Ini merupakan salah satu kesulitan dalam mempelajari agama Hindu. Kita harus ingat bahwa istilah “Hindu” itu bahkan bukan istilah Sansekerta. Banyak ahli mengatakan bahwa itu tidak ditemukan di dalam Sastra Veda manapun. Jadi bagaimana bisa nama seperti itu mewakili jalan atau tradisi Veda? Dan tanpa sastra Veda, tidak ada dasar untuk “Hinduisme.” Banyak ahli merasa bahwa nama “Hindu” telah dikembangkan oleh pihak lain, para penyerbu yang tidak bisa menyebut nama Sungai Sindhu dengan baik. Menurut Sir Monier Williams, leksikografer, Sanskerta, tidak dapat menemukan akar pribumi untuk kata-kata Hindu atau India. Tidak juga kata-kata tersebut ditemukan dalam setiap teks-teks Buddha atau Jain, atau salah satu dari 23 bahasa resmi India. Perkembangan agama Hindu tidak dapat lepas dari peradaban lembah Sungai Indus, di India. Di Indialah mulai tumbuh dan berkembang agama dan budaya Hindu. Dari tempat tersebut mulai menyebarkan agama Hindu ke tempat lain di dunia. Agama Hindu tumbuh bersamaan dengan kedatangan bangsa Arya (cirinya kulit putih, badan tinggi, hidung mancung) ke Mahenjodaro dan Harappa melalui celah Kaiber (Kaiber Pass) pada 2000-1500 SM dan mendesak bangsa Dravida (berhidung pesek, kulit gelap) dan bangsa Munda sebagai suku bangsa asli yang telah mendiami daerah tersebut. Bangsa Dravida disebut juga Anasah yang berarti berhidung pesek dan Dasa yang berarti raksasa. Bangsa Arya sendiri termasuk dalam ras Indo Jerman. Awalnya bangsa Arya bermatapencaharian sebagai peternak kemudian setelah menetap mereka hidup bercocok tanam. Bangsa Arya merasa ras mereka yang tertinggi sehingga tidak mau bercampur dengan bangsa Dravida. Sehingga bangsa Dravida menyingkir ke selatan Pegunungan Vindhya. Setelah bangsa Arya menempati sungai Indus, bercampurlah mereka dengan penduduk asli bangsa Dravida. Semula orang beranggapan bahwa kebudayaan India itu seluruhnya merupakan kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Arya, tetepi setelah penggalian–penggalian di Mahenjodaro dan Harappa, berubah pandangan orang. Ternyata kebudayaan bangsa Arya lebih rendah dari pada bangsa Dravida. Jadi dapat dikonstatasi dengan jelas, bahwa agama Hindu tumbuh dari dua sember yang berlainan, tumbuh dari perasaan dan pikiran keagamaan dua bangsa yang berlainan, tetapi kemudian lebur menjadi satu. Orang Arya mempunyai kepercayaan untuk memuja banyak Dewa (Polytheisme), dan kepercayaan bangsa Arya tersebut berbaur dengan kepercayaan asli bangsa Dravida. Oleh karena itu, Agama Hindu yang berkembang sebenarnya merupakan sinkretisme (percampuran) antara kebudayaan dan kepercayaan bangsa Arya dan bangsa Dravida. Selain itu, istilah Hindu diperoleh dari nama daerah asal penyebaran agama Hindu yaitu di Lembah Sungai Indus/ Sungai Shindu/ Hindustan sehingga disebut agama dan kebudayaan Hindu. Terjadi perpaduan antara budaya Arya dan Dravida yang disebut Kebudayaan Hindu (Hinduisme). Daerah perkembangan pertamanya terdapat di lembah Sungai Gangga, yang disebut Aryavarta (Negeri bangsa Arya) dan Hindustan (tanah milik bangsa Hindu). Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab dari Weda digenapi oleh para brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum muncul semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda. Agama Hindu lahir dan berkembang pertama kalinya dilembah sungai suci Sindhu di India. Agama Hindu adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan sebangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa. Sebenarnya agama Hindu bukanlah agama dalam arti yang biasa. Agama Hindu adalah suatu bidang keagamaan dan kebudayaan, yang meliputi zaman kira-kira 1.500 SM sehingga zaman sekarang. Dalam perjalanannya di sepanjang abad itu agama Hindu berkembang sambil berubah dan terbagi-bagi, sehingga memiliki ciri yang bermacam-macam, yang oleh penganutnya kadang-kadang diutamakan, tetapi kadang-kadang tidak diutamakan sama sekali. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum muncul semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda. Pada zaman kuno oleh penduduknya, India disebut Jambhudvipa yang artinya benua pohon jambu, atau disebut Bharatwarsa yang artinya tanah keturunan Bharata. Nama India dijelaskan dari nama sungai Sindhu yang mengairi daerah Barat India. Bangsa Persia menyebut sungai itu dengan sungai Hindu. Kemudian nama ini diambil alih oleh orang Yunani, sehingga nama itulah yang terkenal di dunia Barat. Akhirnya nama itu diambil alih oleh pemerintah India sekarang ini. Ketika agama Islam dating di India nama yang diberikan oleh bangsa Persia timbul kembali dalam istilah Hindustan, sedangkan penduduknya yang masih memeluk agama India asli disebut orang Hindu. Di India, agama Hindu sering disebut dengan nama Sanatana Dharma yang berarti agama yang kekal atau Vaidika Dharma, yang berarti agama yang berdasarkan kitab suci Weda. Dengan ungkapan ini orang Hindu menyatakan keyakinan bahwa agama tidaklah terikat oleh zaman. Agama ada bersamaan dengan hidup, sebab agama adalah makanan rohani manusia. Dipakai nama Agama Hindu menunjukkan bahwa kata Dharma mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian kata agama dalam bahasa Indonesia. Dalam konteks pembicaraan kita saat ini pengertian Dharma disamakan dengan Agama. Jadi agama Hindu sama dengan Hindu Dharma. Kata Hindu sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh orang-orang Persia yang mengadakan komunikasi dengan penduduk di lembah sungai Sindhu dan ketika orang-orang Yunani mengadakan kontak dengan masyarakat di lembah sungai Sindhu mengucapkan Hindu dengan Indoi dan kemudian orang-orang Barat yang dating kemudian menyebutnya dengan India. Pada mjlanya wilayah yang membentang dari lembah sungai Sindhu yang sampai kini bernama Srilanka, Pakistan, Bangladesh dan Bahkan yang disebut juga dengan Jambhudvipa. Beberapa sumber melaporkan bahwa Alexander Agung yang pertama kali merubah nama Sungai Sindhu menjadi Indu, menghilangkan huruf “S”, guna memudahkan pengucapan bagi orang Yunani. Inilah kemudian dikenal sebagai Indus ketika Alexander menyerbu India sekitar tahun 325 BCE. Kekuatan Macedoniannya sesudah itu disebut daratan timur Indus sebagai India, sebuah nama yang digunakan terutama selama rezim Inggris. Sebelum ini, nama Veda untuk daerah itu adalah Bharath Varsha, di mana banyak orang masih lebih suka menyebutnya dengan nama itu. Kemudian, ketika penyerbu Muslim tiba dari tempat-tempat seperti Afghanistan dan Persia, mereka menyebut Sungai Sindhu sebagai Sungai Hindu. Setelah itu, nama “Hindu” digunakan untuk menggambarkan saluran penduduk dari tanah di propinsi barat laut dari India di mana terletak Sungai Sindhu, dan daerah itu sendiri disebut “Hindustan.” Karena suara Sansekerta “S” berubah menjadi “H” dalam bahasa Persia, Muslim menyebut “Sindhu” sebagai “Hindu,” meskipun pada saat orang-orang dari daerah itu tidak menggunakan nama “Hindu” sendiri. Kata ini digunakan oleh Muslim asing untuk mengidentifikasi orang-orang dan agama di mana orang-orang tersebut tinggal di daerah itu. Setelah itu, bahkan orang Indian sesuai dengan standar tersebut sebagaimana ditetapkan oleh mereka yang berkuasa dan menggunakan nama-nama Hindu dan Hindustan. Sebaliknya, kata itu tidak memiliki makna kecuali orang-orang memberinya arti atau sekarang digunakan di luar kegunaan. Sebuah pemandangan lain tentang nama “Hindu” menunjukkan kebingungan alami untuk mengerti esensi sebenarnya dari jalan spiritual India. Seperti yang ditulis oleh RN Suryanarayan dalam bukunya Agama Universal (p.1-2, yang diterbitkan di Mysore pada tahun 1952), “Situasi politik di negara kita sejak berabad lalu, sebut saja 20-25 abad, telah membuatnya sangat sulit untuk memahami sifat bangsa ini dan agamanya. Sarjana Barat, dan sejarawan, juga, telah gagal untuk melacak nama sejati ini Tanah Brahman, benua yang luas seperti negara, dan oleh karena itu, mereka telah puas diri dengan menyebutnya dengan istilah yang berarti ‘Hindu’. Kata ini, yang merupakan inovasi asing, tidak terbuat dari penggunaan oleh penulis Sansekerta kami dan Acharya yang dihormati dalam karya-karya mereka. Tampaknya kekuasaan politik bertanggung jawab untuk terus-menerus menekankan penggunaan kata Hindu. Kata Hindu ditemukan, tentu saja, dalam sastra Persia. Hindu-e-Falak berarti ‘kegelapan dari langit’ dan ‘Saturnus’. Dalam bahasa Arab Hind bukan Hindu berarti bangsa. Hal ini memalukan dan menggelikan telah membaca selama ini dalam sejarah bahwa nama Hindu diberikan oleh orang-orang Persia kepada penduduk negara kami ketika mereka mendarat di tanah suci Sindhu.” Lokasi di mana kata “Hindu” terjadi untuk apa beberapa orang merasa pertama kalinya dalam Avesta dari Iran dalam deskripsi negara India dan rakyatnya. Seperti negara agama Zorastrime, kata tampaknya mengambil makna yang menghina. Dan tentu saja sebagai mana Islam menyebar di India, kata “Hindu” dan “Hindustan” menjadi semakin tidak dihormati dan bahkan dibenci di arena Persia, dan lebih menonjol dalam sastra Persia dan Arab setelah abad ke-11. Menurut pandangan lain, sumber nama Hindu didasarkan pada makna menghina. Dikatakan bahwa, “Selain itu, benar bahwa nama ini (Hindu) telah diberikan kepada ras Arya asli daerah penyerbu Muslim untuk mempermalukan mereka. Dalam bahasa Persia, kata penulis kami, kata tersebut berarti budak, dan menurut Islam, semua orang yang tidak memeluk Islam disebut sebagai budak. “(Dayanand Saraswati Shri Maharishi Aur Unka Kaam, diedit oleh Lala Lajpat Rai, diterbitkan di Lahore, 1898 dalam Pendahuluan). Lebih jauh lagi, sebuah kamus Persia berjudul Lughet-e-Kishwari, diterbitkan di Lucknow pada tahun 1964, memberikan arti kata Hindu sebagai “tugas (pencuri), dakoo (Perampok), raahzan (waylayer), dan Ghulam (budak).” Di kamus lain, bahasa Urdu-Feroze-ul-Laghat (Bagian Pertama, hal 615) Persia arti kata Hindu adalah lebih lanjut digambarkan sebagai Barda (hamba yang taat), sia faam (warna hitam) dan kaalaa (hitam). Jadi semua ini adalah ungkapan menghina untuk menerjemahkan istilah Hindu sebagai label Persia atas rakyat India. Jadi, pada dasarnya, Hindu hanyalah kelanjutan dari istilah seorang muslim yang menjadi populer hanya dalam 1300 tahun terakhir. Dengan cara ini, kita dapat memahami bahwa ini bukan istilah Sansekerta yang valid, juga tidak ada hubungannya dengan budaya Veda atau jalan spiritual Veda. Tidak ada agama yang pernah ada yang disebut “Hinduisme” sampai orang-orang India pada umumnya memberi nilai pada nama itu, seperti yang diberikan oleh mereka yang didominasi atas mereka, dan menerima penggunaannya. Selanjutnya, istilah telah digunakan untuk menyampaikan konotasi merendahkan. Jadi, apakah itu tidak mengherankan bahwa beberapa acharya India dan organisasi Weda tidak peduli untuk menggunakan istilah? Kebingungan yang sesungguhnya dimulai ketika nama “Hindu” digunakan untuk menunjukkan agama orang India. Kata-kata “Hindu” dan “Hinduisme” sering digunakan oleh Inggris dengan efek fokus pada perbedaan agama antara kaum muslim dan orang-orang yang menjadi dikenal sebagai “Hindu”. Ini dilakukan dengan niat yang agak sukses menciptakan gesekan di kalangan masyarakat India. Hal ini sesuai dengan kebijakan Inggris atas pembagian dan aturan untuk membuatnya lebih mudah bagi mereka yang terus berkuasa atas negeri itu. Namun, kami harus menyebutkan bahwa orang lain yang mencoba untuk membenarkan kata “Hindu” sekarang adalah gagasan dari para Resi terdalu, beberapa ribu tahun yang lalu, juga disebut India tengah Hindustan, dan orang-orang yang tinggal di sana adalah Hindu. Sloka berikut, dikatakan dari Vishnu Purana, Padma Purana dan Samhita Bruhaspati, diberikan sebagai bukti, namun saya masih menunggu untuk mempelajari lokasi yang tepat di mana kita dapat menemukan ayat ini: Beberapa referensi lain yang digunakan, meskipun lokasi yang tepat tidak saya yakini, meliputi: Himalayam Samaarafya Yaavat Hindu Sarovaram Tham Devanirmmitham desham Hindustanam Prachakshathe Himalyam muthal Indian maha samudhram vareyulla devanirmmithamaya deshaththe Hindustanam ennu parayunnu Ini menunjukkan bahwa daerah antara Himalaya dan Samudera Hindia disebut Hindustan. Dengan demikian, kesimpulan dari hal ini adalah bahwa semua orang India beragama Hindu tanpa memandang kasta dan agama. Tentu saja, tidak semua orang akan setuju dengan itu. Orang lain mengatakan bahwa di dalam Rig Veda, Bharata disebut sebagai negara “Sapta Sindhu”, yaitu negara tujuh sungai besar. Hal ini tentu saja dapat diterima. Namun, tepatnya bab dan buku yang dapat berasal dari sloka ini perlu diluruskan. Meski demikian, beberapa orang mengatakan bahwa kata “Sindhu” merujuk pada sungai dan laut, dan tidak hanya ke sungai tertentu yang disebut “Sindhu”. Lebih jauh lagi, dikatakan bahwa dalam Weda Sansekerta, menurut kamus kuno, “sa” diucapkan sebagai “ha”. Jadi “Sapta Sindhu” diucapkan sebagai “Hapta Hindu”. Jadi, ini adalah bagaimana kata “Hindu” dianggap telah terwujud. Hal ini juga mengatakan bahwa Persia kuno Barat disebut sebagai “Hapta Hind”, sebagaimana dicatat dalam klasik kuno mereka “Bem Riyadh”. Jadi, ini adalah alasan lain mengapa beberapa ahli mulai percaya bahwa kata “Hindu” itu berasal di Persia. Teori lain adalah bahwa nama “Hindu” bahkan tidak berasal dari nama Sindhu. Mr A. Krishna Kumar dari Hyderabad, India menjelaskan. “Ini (Sindhu / Hindu) Pandangan ini tidak dapat dipertahankan karena India pada waktu itu mengagumkan peringkat tertinggi di dunia dalam hal peradaban dan kekayaan tidak akan tanpa nama. Mereka tidak aborigin yang tidak diketahui yang menunggu untuk ditemukan, diidentifikasi dan dibaptis oleh orang asing. “Dia mengutip sebuah argumen dari buku Self-Government di India oleh NB Pavgee, yang diterbitkan pada tahun 1912. Penulis menceritakan Swami tua dan sarjana sanskrit Mangal Nathji, yang menemukan Purana kuno yang dikenal sebagai Sham Brihannaradi di desa, Hoshiarpur, Punjab. Itu berisi sloka ini: himalayam samarabhya yavat bindusarovaram hindusthanamiti qyatam hi antaraksharayogatah Sekali lagi lokasi yang tepat dari sloka tersebut dalam Purana hilang, tapi Kumar menerjemahkannya sebagai: “Negeri yang terletak di antara pegunungan Himalaya dan Bindu Sarovara (laut Cape Comorin) dikenal sebagai Hindusthan oleh kombinasi dari huruf pertama ‘hi’ dari ‘Himalaya’dan senyawa terakhir huruf ‘ndu’dari kata ‘Bindu’.” Hal ini tentu saja dianggap telah melahirkan nama “Hindu”, menunjukkan asal pribumi. Kesimpulan bahwa orang-orang yang tinggal di daerah ini dengan demikian dikenal sebagai “Hindu”. Jadi sekali lagi, dengan cara apapun teori-teori ini dapat menyajikan informasi mereka, dan dengan cara apa pun melihat itu, nama “Hindu” mulai hanya sebagai tubuh dan penunjukan daerah. Nama “Hindu” menunjuk ke sebuah lokasi dan orang-orang dan awalnya tidak ada hubungannya dengan filsafat, agama atau budaya rakyat, yang pasti bisa berubah dari satu hal ke hal lain. Hal ini seperti mengatakan bahwa semua orang dari India adalah India. Tentu saja, yang dapat diterima sebagai nama yang mengacu ke sebuah lokasi, tapi bagaimana dengan agama mereka, iman dan filsafat? Ini dikenal dengan banyak nama sesuai dengan berbagai pandangan dan keyakinan. Jadi, mereka tidak semua orang Hindu, karena banyak orang yang tidak mengikuti sistem Veda sudah keberatan dengan menyebut diri mereka dengan nama itu. Maka “Hindu” bukanlah nama yang paling tepat dari sebuah jalan spiritual, tetapi istilah sanskrit Sanatana-dharma jauh lebih akurat. Budaya India kuno dan sejarah awal mereka adalah budaya Veda atau Veda Dharma. Sehingga lebih tepat untuk menggunakan nama yang didasarkan pada budaya bagi mereka yang mengikutinya, bukan nama yang hanya alamat lokasi suatu bangsa. Tampaknya hanya dengan raja-raja Veda kekaisaran Wijayanagara pada tahun 1352 adalah kata “Hindu” digunakan dengan bangga oleh Bukkal yang menggambarkan dirinya sebagai “Hinduraya suratrana”. Sedangkan teks-teks Sansekerta utama, dan bahkan ritual-ritual yang telah dilakukan di kuil-kuil dari ribuan tahun yang lalu, menggunakan kata “Bharata” dalam referensi ke daerah saat ini india. Oleh karena itu, secara tradisional dan secara teknis lebih akurat untuk merujuk ke tanah India sebagai “Bharata” atau “Bharat varsha”. Sayangnya, kata “Hindu” secara bertahap telah diadopsi oleh hampir semua orang, bahkan orang-orang India, dan sekarang diterapkan dalam cara yang sangat umum, begitu banyak sehingga, sebenarnya, bahwa sekarang “Hindu” sering digunakan untuk menjelaskan apa-apa dari kegiatan keagamaan bahkan kegiatan sosial India atau nasionalistis. Beberapa dari apa yang disebut “Hindu” peristiwa-peristiwa yang tidak didukung dalam literatur Veda, dan, karenanya, harus dianggap non-Veda. Dengan demikian, tidak sembarang orang bisa menyebut diri mereka sebagai “Hindu” dan masih dianggap sebagai pengikut jalan Veda. Juga bisa santai setiap aktivitas dapat disebut sebagai bagian dari Hindu dan berpikir panjang dianggap sebagai bagian dari budaya Veda sejati. Oleh karena itu, jalan spiritual Veda lebih tepat disebut Sanatana-dharma, yang berarti abadi, pendudukan jiwa yang tidak berubah dalam hubungannya dengan Yang Mahatinggi. Sama seperti dharma dari gula adalah menjadi manis, ini tidak berubah. Dan jika tidak manis, maka itu bukan gula. Atau dharma dari api adalah untuk memberi kehangatan dan cahaya. Jika tidak seperti itu, maka itu bukan api. Dengan cara yang sama, ada Dharma tertentu atau sifat dari jiwa, yang Sanatana, atau abadi. Itu tidak berubah. Jadi ada keadaan dharma dan jalan dharma. Mengikuti prinsip-prinsip Sanatana-dharma dapat membawa kita kepada keadaan yang murni memperoleh kembali identitas rohani kita yang terlupakan dan hubungan dengan Tuhan. Ini adalah tujuan dari pengetahuan Veda dan sistem realisasi diri. Dengan demikian, pengetahuan tentang Veda dan semua literatur Veda, seperti pesan Krsna dalam Bhagavad-gita, serta ajaran-ajaran Upanishad dan Purana, tidak terbatas hanya “Hindu” yang terbatas pada wilayah tertentu atas planet atau keluarga kelahiran. Pengetahuan semacam itu sebenarnya dimaksudkan untuk seluruh dunia. Seperti setiap orang adalah makhluk rohani dan memiliki esensi spiritual yang sama seperti yang dijelaskan sesuai dengan prinsip-prinsip Sanatana-dharma, maka setiap orang harus diberi hak dan hak istimewa untuk memahami pengetahuan ini. Hal ini tidak dapat diadakan untuk kelompok atau wilayah eksklusif suatu penduduk. Sanatana-dharma juga berkembang penuh filosofi spiritual yang mengisi celah-celah apa pun dapat dibiarkan oleh ajaran-ajaran filosofis agama lain yang kurang berkembang. Pengetahuan langsung tentang jiwa adalah sebuah “universal kebenaran rohani” yang dapat diterapkan oleh semua orang, dalam setiap bagian dunia, di setiap saat dalam sejarah, dan dalam setiap agama. Ini adalah abadi. Oleh karena itu, sebagai sebuah kebenaran rohani abadi, itu melampaui semua waktu dan sebutan duniawi. Pengetahuan tentang jiwa adalah esensi dari kebijaksanaan Veda dan lebih daripada apa arti nama “Hindu”, terutama setelah memahami dari mana nama itu datang. Bahkan jika waktunya tiba pada zaman buruk Kali-Yuga setelah banyak ribuan tahun ketika agama Kristen, Islam, Buddha, dan bahkan agama Hindu (seperti yang kita sebut sekarang) mungkin hilang dari muka bumi, masih akan ada ajaran-ajaran Veda yang tetap sebagai sebuah kebenaran spiritual dan universal, bahkan jika kebenaran tersebut mungkin akan dilupakan dan harus didirikan kembali lagi di dunia ini oleh Tuhan Krsna sendiri. Aku ragu kemudian bahwa Beliau akan menggunakan nama “Hindu.” Beliau pasti mengatakan apa yang Beliau katakan ketika Beliau menyabdakan Bhagavad-gita terakhir kali. Jadi, meskipun saya tidak merasa bahwa “Hindu” adalah istilah yang tepat untuk mewakili budaya Arya Veda atau jalan spiritual, saya juga menggunakan kata itu dari waktu ke waktu untuk arti yang sama karena sudah jadi bagian dari kosa kata semua orang . Kalau tidak, karena saya mengikuti jalan Veda Sanatana-dharma, saya menyebut diriku Sanatana-dharmist. Yang mengurangi kebutuhan untuk menggunakan label “Hindu” dan juga membantu memusatkan perhatian pada sifat universal jalan Veda. Oleh karena itu, saya mengusulkan bahwa semua orang yang menganggap dirinya sebagai orang Hindu mulai menggunakan istilah ini Sanatana-dharmist, yang tidak hanya mengacu pada terminologi Sansekerta yang benar, tapi juga lebih akurat menggambarkan karakter dan spiritual maksud sesungguhnya dari jalan Veda. Orang lain juga telah menggunakan istilah Sanatanis atau bahkan Dharmists, keduanya lebih dekat ke arti sesungguhnya dalam budaya Weda.Namun, untuk tujuan-tujuan politik dan hukum mungkin nyaman untuk terus menggunakan nama Hindu untuk sementara waktu. Sampai istilah Sanatana-dharma atau Dharma Veda menjadi lebih diakui oleh hukum internasional dan masyarakat pada umumnya, “Hindu” dapat tetap berada di belakang istilah yang digunakan untuk pawai budaya Veda. Tapi dalam jangka panjang, itu adalah nama yang akan berubah dalam arti pandangan yang berbeda-beda karena kurangnya dasar linguistik yang nyata. Hanya didasarkan pada nilai-nilai orang-orang tempat di dalamnya, makna dan tujuan akan bervariasi dari orang ke orang, budaya ke budaya, dan tentu saja dari generasi ke generasi. Kita bisa melihat bagaimana hal ini terjadi dengan orang Inggris di India. Jadi, akan ada pelestarian masalah dengan nama dan mengapa beberapa orang dan kelompok tidak akan mau menerimanya. Namun dengan terus-menerus dan meningkatnya penggunaan istilah Sanatana dharma atau Veda-dharma, setidaknya oleh orang-orang yang lebih sadar akan definitif dasar sanskrit istilah-istilah ini, mereka akan memperoleh pengakuan sebagai istilah yang lebih tepat. Itu hanya butuh waktu untuk membuat penyesuaian yang tepat. Ini adalah cara untuk membantu menyembuhkan salah tafsir atau kesalahpahaman yang mungkin berasal dari penggunaan nama “Hindu,” dan juga mengakhiri alasan mengapa beberapa kelompok yang tidak peduli untuk mengidentifikasi diri mereka di bawah nama itu. Setelah semua, sebagian besar kelompok Veda, terlepas dari orientasi mereka dan jalan khusus yang mereka ikuti, pasti bisa bersatu di belakang istilah Veda Dharma. Srila Prabhupada, pendiri International Society of Krishna Consciousness, telah mengatakan hal yang berbeda pada waktu yang berbeda atau bagi orang yang berbeda mengenai penggunaan nama “Hindu”. Banyak kali anggota ISKCON tampaknya berpikir bahwa nama Hindu harus dihindari di semua biaya. Dan pada berbagai kesempatan Srila Prabhupada ISKCON bilang anggota tidak harus Hindu. Namun, ia menjelaskan secara ringkas kepada Janmanjaya dan Taradevi dalam sebuah surat dari Los Angeles dari 9 Juli 1970 bahwa ada hubungan antara agama Hindu dan Krishna Consciousness: “Mengenai pertanyaan Anda: Hindu berarti budaya India. India kebetulan terletak di sisi lain Sungai Indus yang sekarang di Pakistan yang dieja Indus-dalam bahasa Sansekerta disebut Sindhu. Di mana “Sindhu” adalah salah eja oleh Eropa sebagai “Indus”, dan dari Indus kata ‘India’ datang. Demikian pula Arab biasanya mengucapkan sindhus sebagai Hindu. Demikian Hindu diucapkan sebagai Hindu. Ini bukanlah kata Sanskerta, karena kata itu juga tidak ditemukan dalam literatur Veda. Tetapi budaya India atau Hindu adalah Veda dan mulai dengan Catur Varna dan Catur Ashrama. Jadi ini empat varna dan ashrama dimaksudkan untuk ras manusia yang benar-benar beradab. Oleh karena itu, kesimpulannya adalah sebenarnya ketika manusia beradab dalam arti sebenarnya dari istilah dia mengikuti sistem varna dan ashrama dan kemudian ia dapat disebut ‘Hindu’. Gerakan Kesadaran Krishna kita mengajarkan keempat varna dan empat ashrama, jadi tentu saja telah punya hubungan dengan Hindu. Jadi Hindu dapat dipahami dari sudut pandang budaya, bukan sudut pandang agama. Budaya tidak pernah agama. Religi adalah iman, dan budaya merupakan kemajuan pendidikan atau pengetahuan. ” Dia lebih jauh mengatakan dalam sebuah surat dari Los Angeles, 16 Juli 1970, di mana dia menjawab pertanyaan untuk sebuah Nevatiaji: “Orang Amerika sangat cerdas dan anak laki-laki dan perempuan berkualitas sehingga mereka memahami prinsip-prinsip sebagaimana aslinya dan dengan demikian mereka menerimanya. Mereka memahami bahwa Gerakan Kesadaran Krsna bukanlah India atau Hindu, tetapi merupakan gerakan budaya bagi seluruh masyarakat manusia walaupun tentu saja karena yang datang dari India merupakan orang India dan Hindu sentuhan. ” Dengan cara ini, Srila Prabhupada membedakan Kesadaran Krishna sebagai sebuah ke-universal-an, budaya dan gerakan spiritual yang dapat berdiri sendiri, terlepas dari agama tertentu dan perbedaan budaya. Namun, ia masih menceritakan bagaimana pastinya ada orang India dan Hindu memiliki hubungan dengan apa yang disajikan dalam gerakannya. Dan ini tidak harus dan tidak seharusnya benar-benar diabaikan atau dihindari. Kita tentu saja dapat bekerja sama untuk pelestarian dan promosi budaya Veda tanpa kesulitan dengan orang-orang yang mungkin lebih suka menyebut diri mereka Hindu, mengetahui hubungan kita dengan tradisi Veda. 2.2 Perkembangan Agama Hindu Pada abad ke- 19 Belanda juga memperluas kekuasaannya ke pulau Bali. Pada tahun 1906 belanda menyerang Badung dan berakhir dengan puputan Badung. Setelah menguasai Badung, pemerintah kolonial Belanda melanjutkan penyerangan ke wilayah Tabanan dan memperluas kekuasaannya ke daerah lain. Pada zaman penjajahan Belanda agama yang dianut masyarakat Bali disebut agama Tirta. Pada tahun 1939 di Klungkung berdiri suatu organisasi agama yang disebut Trimurti. Di singaraja lahir Perkumpulan Bali Dharma Laksana yang berusaha memperbaharui agama dengan menerbitkan tulisan – tulisan. Tokoh – tokoh agama pada waktu itu adalah I Gusti Bagus Sugriwa dan I Gusti Ngurah Ananda Kusuma. (Nurkancana, 1998 : 153). Pada zaman pendudukan bangsa Jepang, didirikan suatu lembaga pendeta yang disebut Paruman Pandita Dharma. Pada waktu itu agama yang dianut masyarakat Bali adalah agama Siwa Raditya atau agama Sang Hyang Surya. Nama agama ini disesuaikan dengan nama Dewa Matahari, yaitu Dewa yang dipuja oleh masyarakat Jepang (Nurkancana, 1998 : 154). Perkembangan agama Hindu di nusantara pada abad ke – 20 dapat di lihat dari berbagai aspek, baik aspek sejarah, politik, dan sosial ekonomi. 1) Perkembangan Agama Hindu dalam Konteks Sejarah dan Politik Banyak orang Jawa masih mempertahankan kepercayaan warisan tradisi Hindu selama berabad-abad sambil juga memeluk Islam. Kepercayaan ini dikenal sebagai agama Jawa (kejawen) atau Islam Jawa atau Islam Abangan. Beberapa kelompok masyarakat terpencil masih tetap memeluk Hindu secara terbuka. Salah satu kelompok ini adalah masyarakat Hindu yang tinggal di dataran tinggi Tengger di Jawa Timur. Kantor Statistik Nasional Indonesia tahun 1999 memperkirakan terdapat 100.000 orang Jawa yang secara resmi murtad atau ‘kembali lagi’ pindah dari Islam ke Hindu dalam waktu 20 tahun terakhir. Pada saat yang bersamaan, cabang organisasi Hindu (PHDI) Jawa Timur mengatakan bahwa umatnya bertambah sampai berjumlah 76.000 di tahun ini saja. Angka ini hanya berdasarkan nama agama yang tercantum di KTP dan hanya berdasarkan laporan agama resmi. Sebelum tahun 1962, agama Hindu tidak diakui secara nasional sehingga orang – orang beragama Hindu tidak bisa mencantumkan agama mereka secara resmi. Permohonan pengakuan Hindu sebagai agama resmi diajukan oleh organisasi agama dari Bali dan dikabulkan di tahun 1962 demi kepentingan masyarakat Bali yang mayoritas adalah Hindu. Organisasi yang terbesar yakni Parisada Hindu Dharma Bali yang kemudian diubah menjadi PHD Indonesia (PHDI) di tahun 1964, berupaya untuk memperkenalkan Hindu secara nasional dan bukan hanya milik Bali saja (Nurkancana, 1998 : 154). Di awal tahun 70-an, orang – orang Toraja Sulawesi mengambil kesempatan ini dengan memeluk agama nenek moyang mereka yang banyak dipengaruhi oleh Hindu. Masyarakat Batak Karo dari Sumatra di tahun 1977 dan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan di tahun 1980 juga melakukan hal yang sama. Identitas agama menjadi masalah hidup-mati saat agama Hindu memperoleh status resminya, yakni di saat terjadinya kerusuhan anti komunis di tahun 1965-1966. Orang – orang yang tidak dapat menyebutkan agamanya digolongkan sebagai orang atheis dan dituduh komunis. Terlepas alasan politis ini, kebanyakan orang menganut Hindu karena juga ingin mempertahankan agama nenek moyang dan bagi masyarakat di luar Jawa, Hindu merupakan pilihan terbaik dibandingkan Islam. Sebaliknya, kebanyakan orang Jawa tidaklah melihat Hindu sebagai agama pilihan di saat itu karena kurang adanya organisasi Hindu. Untuk menyalurkan hasrat politik, banyak penganut Kejawen dan pemeluk baru agama Hindu yang menjadi anggota partai politik Megawati Sukarnoputri. Sumber – sumber keterangan dari kelompok ini menyatakan bahwa kembalinya mereka kepada agama Majapahit (Hindu) merupakan kebanggaan nasional dan ini diwujudkan melalui pandangan politik baru yang penuh rasa percaya diri. 2) Kebangkitan Agama Hindu dalam Konteks Sosial dan Ekonomi Ciri – ciri umum yang tampak di masyarakat baru Hindu di Jawa adalah kecenderungan untuk berkumpul di pura yang baru saja dibangun atau candi – candi kuno yang dinyatakan kembali sebagai tempat ibadah masyarakat Hindu. Satu dari pura Hindu yang baru dibangun di Jawa Timur adalah Candi Mandaragiri Semeru Agung, di bukit dekat Gunung Semeru. Ketika candi ini selesai dibangun pada bulan Juli 1992 dengan bantuan keuangan Bali, hanya segelintir keluarga setempat secara resmi memeluk agama Hindu. Pada bulan Desember 1999 menunjukkan masyarakat Hindu lokal berkembang menjadi lebih dari 5.000 keluarga. Perpindahan agama besar – besaran yang sama juga terjadi di daerah sekitar Candi Agung Blambangan yang merupakan candi baru yang dibangun di daerah sisa – sisa kerajaan Blambangan, pusat kekuatan politis Hindu terakhir di Jawa. Yang tidak kalah pentingnya adalah Candi Loka Moksa Jayabaya (di desa Menang dekat Kediri), di mana raja dan petinggi Hindu, Jayabaya, dipercaya mencapai moksa (kemerdekaan spiritual). Gerakan Hindu lain yang juga mulai tampak terjadi di daerah sekitar Candi Pucak Raung (di Jawa TImur) yang baru saja dibangun. Daerah ini disebut dalam sastra Bali sebagai tempat di mana begawan Hindu, Maharishi Markandeya, mengumpulkan pengikutnya untuk melakukan perjalanan ke Bali dan membawa agama Hindu ke Bali di abad 5 M. Kebangkitan agama Hindu juga tampak di daerah Candi Hindukuno di Trowulan dekat Mojokerto. Daerah ini dikenal sebagai ibukota kerajaan Hindu Majapahit. Gerakan Hindu setempat berusaha untuk mendapatkan ijin menggunakan candi yang baru saja digali sebagai tempat ibadah agama Hindu. Candi ini akan dipersembahkan bagi Gajah Mada, perdana menteri Majapahit yang berhasil mengembangkan kerajaan Hindu kecil itu sampai meliput wilayah dari Sabang sampai Merauke. Meskipun terdapat lebih banyak pertentangan dari kelompok Islam di Jawa Tengah daripada di Jawa Timur, masyarakat Hindu ternyata juga berkembang di Jawa Tengah. Contohnya adalah di Klaten di dekat Candi Prambanan. 2.3 Penganut Agama Hindu Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa, Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis - Sidrap). Agama ini timbul dari bekas–bekas runtuhan ajaran–ajaran Weda dengan mengambil pokok pikiran dan bentuk–bentuk rupa India purbakala dan berbagai kisah dongeng yang bersifat rohani yang telah tumbuh disemenanjung itu sebelum kedatangan bangsa Arya. Dengan sebab ini para peneliti menganggap Agama Hindu sebagai kelanjutan dari ajaran – ajaran Weda dan menjadi bagian dari proses evolusinya. Menurut para sarjana, agama hindu terbentuk dari campuran antara agama India asli dengan agama atau kepercayaan bangsa Arya. Agama Hindu adalah suatu agama yang berevolusi dan merupakan kumpulan adat-istiadat dan kedudukan yang timbul dari hasil penyusunan bangsa Arya terhadap kehidupan mereka yang terjadi pada satu generasi ke generasi yang lain sesudah mereka datang berpindah keIndia dan menundukkan penduduk aslinya serta membentuk suatu masyarakat sendiri diluar pengaruh penduduk asli itu. Sejarah agama Hindu dimulai dari zaman perkembangan kebudayaan–kebudayaan besar di Mesopotamia dan Mesir. Karena rupanya antara tahun 3000 dan 2000 sebelum Masehi dilembaga sungai Indus sudah ada bangsa–bangsa yang peradapannya menyerupai kebudayaan bangsa Sumeria di daerah sungai Eufrat dan Tigris, maka terdapat peradapan yang sama di sepenjang pantai dari laut Tengah sampai ke Teluk Benggal. Penduduk India pada zaman itu terkenal sebagai bangsa Dravida. Bangsa Dravida adalah bangsa yang berkulit hitam dan berhidung pipih, berperawakan kecil dan berambut keriting. Sistem kepercayaan bangsa dravida sebelum masuknya agama Hindu. Bangsa Dravida melahirkan budaya pertapaan menyiksa diri yang beranggapan bahwa jiwa itu tidak sama dengan badan, jika mereka menyatukan badan dengan jiwa maka itu dianggap sebagai bentuk kekekalan. System kepercayaannya seperti orang meditasi, bertapa mengembara, selimbat (tidak menikah), melatih fikiran, mencari jalan kematian dan kelahiran (mencapai kebebasan). Beberapa kepercayaan yang dianut pada awal perkembangan Hindu : 1) Totheisme atau Totemisme atau Antrophomorphisme, adalah tahap di mana persembahan yang mereka berikan masih sangat sederhana kepada fenomena-fenomena alam (sungai, batu, guning, pohon, dan sebagainya). 2) Polytheisme, pada tahap ini mereka beranggapan bahwa fenomena-fenomena alam tersebut dianggap memiliki suatu kekuatan dan mereka menganggapnya sebagai dewa. Mereka mulai memuja dewa-dewa seperti; Dewa Air (Baruna), Dewa Matahari (Suriya), Dewa Angin (Bayu), dan lain-lain. 3) Henotheisme, di tahap ini mereka cenderung memfavoritkan pada dewa-dewa tertentu untuk suatu periode, sehingga kefavoritan menjadi berganti-ganti unutk satu periode sesuai dengan keadaan. Bila pada musim kemarau, mereka memuja dan memfavoritkan kepada Dewa Hujan, pada musim bercocok tanam mereka memuja Dewa Air, dan sebagainya. 4) Monotheisme, pada tahap ini mereka hanya memuja pada satu dewa yang mereka kenal sebagai dewa pencipta segalanya (Pajapati), mereka beranggapan bahwa Pajapati adalah sebagai pencipta alam semesta. Pajapati sering dianggap sebagai dewa yang bertugas menciptakan semua hal dan kemudian berkembang gagasan tentang Brahma. Dari tahap Antrophomorphisme, Polytheisme, kemudian tahap Henotheisme, sampai pada tahap Monotheisme itu disebut tahap Yadnya Marga atau Karma Marga, karena mereka cenderung masih melakukan upacara-upacara persembahan atau upacara kurban dengan tujuan agar mendapatkan berkah, pahala, kebahagiaan, dan keselamatan. 5) Monisme atau Pantheisme, adalah tahap di mana mereka tidak lagi menyembah dewa-dewa. Mereka meyakini atau berprinsip bahwa ada suatu sumber dari segala sesuatu, yaitu yang mereka namakan sebagai Roh Universal (Maha Atman). Dan mereka juga meyakini bahwa setiap benda atau bentukan memiliki Roh Individu yang mereka namakan Puggala Atman. Di tahap ini yang semakin berkembang mereka melakukan suatu pencarian, bagaimana agar Puggala Atman dapat bersatu dengan Maha Atman. BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Beberapa sumber melaporkan bahwa Alexander Agung yang pertama kali merubah nama Sungai Sindhu menjadi Indu, menghilangkan huruf “S”, guna memudahkan pengucapan bagi orang Yunani. Inilah kemudian dikenal sebagai Indus ketika Alexander menyerbu India sekitar tahun 325 BCE. Kekuatan Macedoniannya sesudah itu disebut daratan timur Indus sebagai India, sebuah nama yang digunakan terutama selama rezim Inggris. Sebelum ini, nama Veda untuk daerah itu adalah Bharath Varsha, di mana banyak orang masih lebih suka menyebutnya dengan nama itu. Kemudian, ketika penyerbu Muslim tiba dari tempat-tempat seperti Afghanistan dan Persia, mereka menyebut Sungai Sindhu sebagai Sungai Hindu. Setelah itu, nama “Hindu” digunakan untuk menggambarkan saluran penduduk dari tanah di propinsi barat laut dari India di mana terletak Sungai Sindhu, dan daerah itu sendiri disebut “Hindustan.” Karena suara Sansekerta “S” berubah menjadi “H” dalam bahasa Persia, Muslim menyebut “Sindhu” sebagai “Hindu,” meskipun pada saat orang-orang dari daerah itu tidak menggunakan nama “Hindu” sendiri. Kata ini digunakan oleh Muslim asing untuk mengidentifikasi orang-orang dan agama di mana orang-orang tersebut tinggal di daerah itu. Setelah itu, bahkan orang Indian sesuai dengan standar tersebut sebagaimana ditetapkan oleh mereka yang berkuasa dan menggunakan nama-nama Hindu dan Hindustan. Sebaliknya, kata itu tidak memiliki makna kecuali orang-orang memberinya arti atau sekarang digunakan di luar kegunaan. 3.2 Saran Hendaknya penganut agama Hindu mengetahui bagaimana sejarah agama Hindu di India dan asal-usul nama Hindu yang dahulunya bernama Sanatana Dharma. Dan sebagai penganut agama terutama agama Hindu hendaknya tidaklah lupa dengan sejarah agama Hindu dan kesepakatan kata Hindu di bentuk.

etika dalam sarasmuscaya

amanis-manisi ring wwang kasyasih, ndan sinapa wani kang hati ring jro kadi kartra kartra ngaranya gunting, kadi landep ing pamangan ing gunting alanya, tibra ning irsya kumrenges kanugel griwa ning sadhu kasyasih, dahat anglarani, padanya kadi madhu mawor lawan racun, tuhun ing amanis-hala nikamatyani, yeka dustalaksanangaranya, saksat pawak ing sisa kalakuta, yeka rupa ning dasar ing kawah sangksepanya, tan ulaha sang jnama paromottama ika, ling sang hyang sastragama (S.t.34) Terjemahan : Ada orang yang air mukanya manis menarik dan seperti tenangnya bunga teratai yang sedang mekar, kata-katanya sejuk seperti meresapnya sejuk air cendana yang dilepaskan pada badan. Ia manis dan penyayang tampaknya terhadap orang sengsara dan kemalangan. Walaupun tampaknya ia dapat dianggap sebagai pahlawan, namun sebenarnya, hatinya setajam gunting. Dalam mendekati ia itu sangat menakutkan. Dengan gigi dikeratnya ia patahlah leher orang-orang yang baik budi yang patut disayangi itu. Ia menyebabkan penderitaan yang maha hebat, yaitu sama dengan madu dicampur racun. Sebenarnya kemanisannya itulah kejahatan yang tidak kenal ampun. Sebenarnya ia racun terjahat dalam bentuk manusia, penjelmaan dasar neraka. Kesimpulannya orang yang lahirnya mulia janganlah berbuat semacam ini. Inilah nasehat suci. Demikianlah gambaran sifat-sifat orang buruk budi. Masih ada gambaran sifat-sifat buruk yang lebih panjang lebar dari uraian diatas ini yaitu pada ayat 84 kitab Slokatara yaitu sebagai berikut : Nihan ambek dasa malanya. Tan yogya ulahakena lwirnya, tandri, kleda, leja, kuhaka, metraya, megata, ragastri, kotila, bhaksa-bhuwana, kimburu, tandri nga. Wwang sungkanan, leson balebeh sampeneh adoh ing rahayu, anghing hala juga kaharepnya, kleda nga, ambek angelem-elem, merangan maring harep, tan katekan pinaksanya, leja nga. Ambek tamah, agong trsna, agong lulut asih, maring hala, kutila nga. Parachidra, pesta peda ring kawelas asih, pramada pracale, norana wwang den keringi, kuhaka nga. Ambek krodha. Agong runtik, capala sabda bangga poraka, metraya nga. Bisagawe ujar mahala, sikara dumikara, wiwiki wiweka, sapa kadi sira, botarsa rabi ning arabi, tan hana ulahnya rahayu, yan metu sabdanyaarum amanis anghing hala ri dalem, tan papilih buddhi cawuh, kala ri hatinya purikan, raga stri nga. Bahud lanji, wawadonen, rambang panon, bhaksa bhuwana andenda sasama ning tumuwuh, akirya ring wwang sadhu, ardeng pangan inum, hangkara sabda prengkang, kimburu nga. Anghing gawene akirya-kirya drewe ning wwang sadhu, tan papilih, nora kadang sanak mitra, nyata memet drewe ning sang wiku. Mangkana karma ning dasa mala. Tan rahayu. (S.t.84) Terjemahan : Inilah sifat-sifat dasa mala yang tidak layak dilakukan, yaitu : - Tandri yaitu orang yang malas, lemah, suka makan dan tidur saja, enggan bekerja, tidak tulus dan hanya ingin melakukan kejahatan. - Kleda artinya suka menunda-nunda, pikiran buntu dan tidak mengerti apa sebenarnya maksud-maksud orang lain. - Leja artinya pikiran selalu diliputi kegelapan bernafsu besar. Ingin segala dan gembira jika melakukan kejahatan. - Kutila artinya menyakiti orang lain, menyiksa dan menyakiti orang miskin dan malang, pemabuk dan penipu. Tidak seorangpun berkawan baik dengannya. - Kuhaka artinya orang pemarah, selalu mencari-cari kesalahan orang lain, berkata asal berkata dan sangat keras kepala. - Metraya artinya orang yang hanya dapat berkata kasar dan suka menyakiti dan menyiksa orang lain, sombong pada diri sendiri, “siapa dapat menyamai aku” pikirnya. Ia suka mengganggu dan melarikan istri orang lain. - Megata artinya tidak ada tingkahnya yang dapat dipuji. Meskipun ia berkata atau kata-katanya manis dan merendah, tetapi dibalik lidahnya ada maksud jahat. Ia tidak merasakan kejelekannya, berbuat jahat, menjauhi susila, ia kejam. - Ragastri artinya suka memperkosa perempuan baik-baik dan memandang mereka dengan mata penuh nafsu. - Bhaksa bhuwana artinya orang yang suka membuat orang lain melarat. Ia menipu orang jujur. Ia berpoya-poya dan berpesta-pesta melewati batas. Ia sombong. Kata-katanya selalu menyakiti telinga. - Kimburu artinya orang yang menipu kepunyaan orang jujur. Ia tidak peduli apa mangsanya itu keluarga, saudara atau kawan. Ia tidak segan mencoba mencuri milik para pendeta. Inilah tingkah orang yang melakukan kesepuluh dosa itu. Ini tidak bagus. Demikian gambaran kecenderungan-kecenderungan sifat baik dan buruk dalam Slokantara. 2.2.3 Etika Hindu menurut Slokantara Dalam ajaran etika dalam uraian ini disajikan uraian tentang : 1) Satya dan Dharma Sejak jaman Veda ajaran satya ini sudah dijunjung tinggi dan kemudian berkembang dalam ajaran-ajaran yang menyusul kemudian. Dalam kitab Slokantara Satya dikaitkan dengan ajaran dharma. Satya adalah Dharmama yaitu dharma yang termulia. Tak ada yang lebih mulia dari pada satya dalam prilaku sebagai manusia. Dalam kitab Slokantara sloka 1 kita baca tentang satya ini seperti dibawah ini : Brahmano va manusyanamadityo vapi tejasam, Siro va sarwa gatresu dharmesu satyamuttaman. Terjemahan : Sebagai halnya golongan Brahmana diantara manusia, sebagai halnya matahari diantara sumber cahaya, sebagai halnya kepala diantara anggota badan, diantara dharma, kebenaranlah yang paling mulia. Barang siapa yang melanggar satya berarti melanggar dharma, karena satya adalah dharma. Tentu saja orang yang melanggar satya akan tidak menemukan kerahayuan karena kodratnya sudah demikian. Karena itu kitab Slokantara berulang-ulang menyebut dan menyuruh kita melakukan dharma karena hanya dengan demikianlah orang dapat diseberangkan dari kesengsaraan menuju kebahagiaan. Itulah sebab kitab Slokantara menyuruh : “Kerjakanlah dharma” Anityam yauvanam rupam anityo drawya samcayah, Anityah priya samyogastasmad dharma samacaret. Kalinganya, ikang kayowanan mwang rupa, tan lana jatinya, ikang kasugihan samuha ning drwya, tan lanai ka mwah ikang wwang amangan aturu lawan rabinya tan lanai ka, matangnyan ulahakna dharma juga, tan angalah-alaha samaning dadi janma, wenang matakwan salwir ing sinangguh dharma sasana ri sang pandita marapwan tan anemu papa, mangkana karma ning dadi janma. (S.t.9) Terjemahan : Adapun keremajaan dan wajah yang tampan tidak kekal itu, sebenarnya. Kekayaan, semua hak milik tidak kekal itu dan orang yang makan dan tidur bersama istripun tidak kekal keadaannya. Oleh karena itu dharmalah yang pertama-tama harus diusahakan dan diperbuat. Sungguh tidak ada cacatnya menjadi manusia kalau senang menanyakan segala apa yang dinamakan dharma sasana pada sang pandita agar supaya tidak menemui beraka. Demikian sepatutnya hal ikhwal menjadi manusia. 2) Catur Paramita Catur paramita itu adalah ajaran tentang cinta kasih kepada semua makhluk. Kitab Sanghyang Kamahayanikan menyajikan catur paramita, versi lain dari ajaran tat twam asi. Kami sajikan catur paramita seperti dibawah ini : Catur paramita ngaranya : Metri, karuna, mudita, upeksa. (S.K.68) Terjemahan : Catur paramita namanya : - Metri , - Karuna, - Mudita, - Upeksa. Metri ngaranya parahitakakrtwa, akara ning jnana sang satwa wisesa. Sang satwa wisesa ngaranya : sang tumaki-taki sat paramita, mwang catur paramita, sira ta satwa wisesa ngaranira. Akara ning jnana nira gumawe haywa ning para. Para ngaranya : sarbwa, stwa, kanisthamadhyamottama, ikang sih ning para tan phalapeksa, ya ta metri ngaranya. Terjemahan : Metri namanya : parahitakakrtwa, bentuk kesadaran sang satwa wisesa. Sang sattwa wisesa namanya ialah orang-orang yang benar menekuni sat paramita dan catur paramita, ia itulah sattwa wisesa namanya. Bentuk kesadarannya ialah mengusahakan kerahayuan para. Para namanya ialah semua makhluk yang rendah, sedang dan utama. Kasih sayang kepada semua makhluk tanpa mengindahkan kasih, disebut metri. Karuna ngaranya : paradubkhawiyogecca, akara ning jnana. Sang satwa wisesa ahyun hilangani dukha ning sarbwa satwa, Terjemahan : Karuna namanya ialah paraduhkhawigecca, yaitu bentuk kesadaran sang satwa wisesa yang menghendaki lenyapnya kesadaran semua makhluk. Mudita ngaranya : parahitatustih satwawisesasya jnanasyakatah, inak ng akara ni jnana sang satwa wisesa, telas pagawayan ira metri karuna, mudita ngaranya. Terjemahan : Mudita namanya : parahitatustih sattva wisesasya karah ialah rasa senangnya batin sang satwa wisesa karena bahagianya semua makhluk sesudah melakukan metri, karuna. Itulah mudita namanya. Upeksa ngaranya : labhanapeksa satwawisesasya, jnanasyakarah akara ni jnana sang satwa wisesa tanpa upeksa labha ngaranya : tan wawarengo ni jnana sang satwa wisesa ring welas, pujastuti gawayaken ikang metri karuna mudita ring satwa, makanimitta katonan I duhka ning satwa, yogya pagawayana upeksa. Terjemahan : Upeksa namanya : labhanapeksa satwawisesasya jnanasyakarah, ialah bentuk kesadaran batin sang satwa wisesa yang tidak mementingkan hasil. Tanpa upeksa labha namanya ialah kesadaran batin sang satwa wisesa yang tidak menghiraukan akan balasan, pujian-pujian, apalagi harta benda. Beliau mengerjakan metri, karuna, mudita pada semua makhluk, yang menyebabkan tampaknya kesengsaraan semua makhluk maka patut pula upeksa supaya dikerjakan. 3) Sapta Timira Apabila rasa aku berkuasa atas diri orang maka ia dapat menjadi takabur, congkak lupa daratan. Rasa aku yang tak terkendali membawa orang pada kehinaan, kerendahan budi, karena bentuk penampilannya adalah bentuk congkak, tidak hormat kepada sesame , mementingkan diri sendiri, tidak tahu tenggang rasa dan sebagainya. Slokantara menyebutkan ada tiga sumber kemabukan yaitu : minuman keras, kepandaian dan kekayaan. Hal ini disebutkan dalam sloka 21 seperti berikut : Sura saraswati laksmi, Ityata madakaranam, Mada yanti na cetamsi, Sa eva puroso matah. Kalinganya, ikang amuraha wero ring dadi wwang, tiga lwirnya, ndya ta, sura ngaranya twak, saraswati ngaranira sanghyang aji, laksmi ngaran ira kasugihan, mas pirak, ika ta karana ning wero munggwing citta, kunang yan hana wwang tan kataman wero dening twak, de ning bisanyangaji, dening kasugihan mas piraknya, yeka purusa ngaranya, yan hana wwang mangkana, byakta kinahyunaning rat, ling sang hyang aji. (S.t.21) Terjemahan : Keterangannya, yang menyebabkan orang menjadi mabuk, tiga macamnya yaitu : - Sura yaitu tuak, - Saraswati yaitu pengetahuan, - Laksmi yaitu kekayaan, seperti mas dan perak. Itulah yang menyebabkan mabuk pikiran orang. Bila ada orang yang tidak kena mabuk karena tuak, karena pengetahuan, karena kekayaan mas perak, maka ia disebut purusa, manusia sejati. Bila ada orang yang demikin itu, benar-benar ia akan dicintai oleh masyarakat. Jadi bukan saja tuak atau minuman semacam itu yang menyebabkan orang mabuk, namun juga pengetahuan dan kekayaan dapat menyeret orang memasuki dunia mabuk, sehingga lupa akan diri. 4) Sangsarga Selain sebagai makhluk individu, manusia itu adalah juga makhluk berteman, didalam hidup berteman itu terjadilah interaksi antara seseorang dengan seseorang, antara seseorang dengan kelompok. Interaksi itu dapat membentuk pribadi seseorang, disamping pembawaan lahirnya. Selain itu suasana lingkungan juga dapat membentuk pribadi seseorang. Suasana lingkungan dapat membentuk pribadi yang baik tetapi juga dapat mendorong orang-orang terperosok jatuh ke dasar kehinaan. Disini kitab Slokantara memberi contoh mengenai pengaruh lingkungan terhadap kehidupan, akan dijelaskan sebagai berikut : Gavasananam sa girah sronoti Aha tu rajan muninam sronomi, Pratyaksametad bhavatasi drstam, Samsargaja dosaguna bhavanti. Kalinganya, yan hana wwang masangsarga lawan wwang nica, niyata nika katularan budhi durjana nica, mangkana yan asangsarga lawan ikang wwang sadhu, katularan buddhi sadhu, drstopamanyatah, kadyangga nikang atat rwang siki, mangaran si Gawaksa mwang si Giwaksa, iakng asiki inalap ing taha buru, iningu nika, ikang asiki, inalap de sang pandita, iningu nira, karhancit hana ta sira ratu maburu-buru, kasasar ta sira prihawak, kawawa marery umah ning tuha buru, kahanan ikang atat si Girika, mojar tekang atat ring sang prabhu, lingnya, ndah mah tamah, siwak kapalanya, mangkana ta wuwus nikang atat, karengo de sang prabhu, alayu ta sira rumengo wuwusnya, ri wekasan ta sira, kawawa mareng patapan sang pandita, ri kahanan ikang atat si Gawaksa, dingaryan ta rahadyan sanghulun kasepera ring patapan, araryan ta laki, alungguha ring widig anar, manginanga wwah apiji, mwang sere anar, apuh mentah, yapwan anghel rahadyan sanghulun, masamwa ‘sri maharaja irikang wulakan, mangka ling nikang atat ri sira, kascaryan ta manah nira sang prabhu, rumengwaken ujar ikang atat, ri wekasan ta sang prabhu, matakwan ri sang pandita, nikang atat iningunira, mojar ta sang pandita, yan kawana de ning sangsarga nika, sangksepa nika sang sadhujana, haywa sira tan pamilipi sangsarga nira, ikang sayogyamuwuhana guna ri sira, haywa sira masangsarga lawan ikang wwang durjana, apan amawa mareng kawah ling sang hyang aji. (S.t.45) Terjemahan : Jika ada orang bersahabat dengan orang yang rendah budinya tentulah orang itu akan kena pengaruh budi yang rendah dan jahat. Demikian pula jika bersahabat dengan orang yang baik budi akan kena pengaruh budi baik. Contohnya seperti halnya dua ekor burung atat yang bernama si Gawaksa dan si Giwika, yang satu ditangkap oleh seorang pemburu dan dipelihara, dan seekor lagi ditangkap oleh seorang pendeta dan dipeliharanya. Pada suatu hari ada seorang raja berburu, tersesatlah beliau seorang diri, terlunta-lunta hingga sampailah beliau dirumah seorang pemburu, tempatnya burung atat si Girika. Berkatalah burung atat itu kepada sang prabhu, katanya : “ah itu dia, makan, belah kepalanya”. Demikianlah kata burung atat itu, terdengarlah oleh sang prabhu, larilah beliau itu, sampai dipertapaan sang pendeta, tempatnya burung atat si Gawaksa. Berkatalah burung itu, katanya : “Duhai, bahagialah tuanku raja! Sayang tuanku terlunta-lunta sampai dipertapaan ini, silahkan istirahat dan duduk dibalai-balai yang baru itu, sambil makan buah ampiji, sirih muda, kapur mentah. Bila tuanku letih, silahkan tuanku mandi dikolam itu” Demikianlah kata burung atat itu kepada baginda. Heranlah hati baginda raja mendengar kata-kata burung atat itu. Pada akhirnya baginda raja bertanya kepada sang pendeta, tentang burung atat yang dipeliharanya itu. Menjawablah sang pendeta : “Sesungguhnya hal itu disebabkan oleh karena persahabata, kesimpulannya bagi orang yang baikbudi janganlah ia tidak memilih sahabat, pilihlah yang dapat menambah kebijaksanaan janganlah ia bersahabat dengan orang jahat, sebab orang yang akan mengantar ke neraka. Demikianlah ajaran agama menyebutkan. 2.3 Etika Hindu dalam Nitisastra Selain sebagai ilmu politik, sesungguhnya Niti Sastra lebih banyak mengajarkan ilmu pengetahuan tentang etika, moralitas serta budi pekerti, tata pergaulan hidup dengan semua makhluk dan bagaimana memusatkan perhatian atau pelayanan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal ini boleh jadi karena Maharesi Canakya disamping menulis buku Niti Sastra yang berisi ajaran tentang etika dan moralitas, juga menulis buku Artha Sastra yang berisi ajaran mengenai ilmu politik dan pemerintahan. Dalam kamus pun Niti Sastra lebih didahulukan pengertiannya sebagai ilmu etika, moralitas dan sopan santun, meski pada akhirnya diartikan juga sebagai ilmu politik. Niti Sastra dengan kata Niti memang berarti to lead, memimpin, membimbing, mendidik orang bagaimana bergaul dan bertindak serta bagaimana mengembangkan cinta kasih dan bhakti kepada Tuhan. Dalam hal ini orang dibimbing kearah kebaikan, kejalan terang, kearah cinta bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa (geogle, 3/7/2012, 13:19). Dibawah ini akan dijelaskan mengenai etika berguru sebagai berikut : Canakya Nitisastra, Adhyaya V. Sloka 1: " Guru Agnir Dvijatinam, Varnanam Brahmana Guruh, Patireva Guruh Strinam, Sarvasya Bhayagato Guruh". Terjemahan. "Dewa Agni adalah Guru bagi para Dwijati (Sang Sadaka), Varna Brahmana adalah Guru bagi Varna Ksatria, Waisya dan Sudra, Guru bagi seorang istri adalah suami, dan seorang tamu adalah Guru bagi semuanya". Sloka Canakya Nitisastra ini merupakan sebuah pedoman bagaimana etika berguru, ajaran bhakti, sehingga terjadi sebuah tatanan kehidupan yang harmonis, etika sosial dengan saling menghargai satu sama yang lain dan oleh Catur Varna bukan justru dijadikan sebagai stratifikasi sosial untuk mempertahankan status Co. Tetapi intisari pesan dari Sloka ini adalah ada pada baris pertama dan terakhir bahwa sesungguhnya semua harus berguru kepada Agni (Tuhan) dan semua harus berguru kepada Tamu. Kata Tamu ini adalah spirit yang ada diluar diri manusia, siapa spirit itu ? yaitu seluruh sekalian alam (Tuhan) (geogle, 3/7/2012, 13:20). BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak Etika Hindu yang tersirat dalam kitab seperti dalam : 1. Sarasamuccaya Ajaran etika dalam Sarasamuccaya menguraikan tentang Catur Purusa Artha, Tri kaya, Tentang pergaulan, Hormat kepada orang lain dan orang tua, Ajaran tentang dasa yama dan dasa niyama. 2. Slokantara Ajaran Etika dalam Slokantara menguraikan tentang satya dan dharma, catur Paramita, sapta timira, dan sangsarga. 3. Nitisastra Selain sebagai ilmu politik, sesungguhnya Niti Sastra lebih banyak mengajarkan ilmu pengetahuan tentang etika, moralitas serta budi pekerti, tata pergaulan hidup dengan semua makhluk dan bagaimana memusatkan perhatian atau pelayanan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Adapun etika berguru seperti tersirat di bawah ini Canakya Nitisastra, Adhyaya V. Sloka 1: " Guru Agnir Dvijatinam, Varnanam Brahmana Guruh, Patireva Guruh Strinam, Sarvasya Bhayagato Guruh". Terjemahan. "Dewa Agni adalah Guru bagi para Dwijati (Sang Sadaka), Varna Brahmana adalah Guru bagi Varna Ksatria, Waisya dan Sudra, Guru bagi seorang istri adalah suami, dan seorang tamu adalah Guru bagi semuanya".

ETIKA

BAB I PENDAHULUAN • Latar Belakang Tata susila atau etika diartikan juga sebagai peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus dijadikan pedoman hidup oleh manusia namun, di dalam kehidupan serba modern orang-orang masih cenderung untuk melakukan perbuatan yang di luar dari batas moral. Maka dari itu orang-orang harus mengerti serta memahami pengertian dari susila tersebut. Susila yang diajarkan dalam Agama Hindu biasanya dipelajari melalui kitab-kitab suci Agama Hindu, selain itu ada juga lontar-lontar yang berhubungan dengan ajaran susila seperti Slokantara. Slokantara adalah untaian sloka-sloka dalam masalah etika agama Hindu yang memberi tuntunan kepada kita mengenai hal-hal yang patut dan tidak patut dilakukan. Maka dari itu Slokantara berisi tentang ajaran Susila atau Etika dalam Agam Hindu. • Rumusan Masalah Dalam latar belakang dapat ditarik permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah pengertian dari Etika ? 2. Bagaimana Etika dalam Slokantara ? o Tujuan Masalah Adapun tujuan dari pembutan makalah ini adalah: 1. Untuk mengetahui Pengertian dari Etika. 2. Untuk mengetahui Etika dalam Slokantara. o Manfaat Adapun manfaat dari permasalahan tersebut adalah: 1. Memahami pengertian dari Susila . 2. Memahami Etika dalam Slokantara. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Etika Kata etika barasal dari bahasa Yunani “ethos” yang mempunyai banyak arti seperti watak, perasaan, sikap, perilaku, karakter, tata karma, tata susila, sopan santun, cara berpikir, dan lain-lain. Sementara itu bentuk jamak dari kata “ethos” adalah “ta etha” yang berarti adat kebiasaan. Jadi, etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan atau sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral (W.J.S. Purwadarmita, 1966). Pengertian etika lebih jauh diuraikan juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi tahun 1988 (Bertnes, 2004). Dalam kamus tersebut membedakan tiga makna mengenai etika, yaitu: 1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). 2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. 3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Untuk memperoleh gambaran yang lebih luas baiksebagai ilmu, adat kebiasaan, dan system nilai, berikut ringkasan berbagai definisi mengenai etika (I Gede A.B. Wiranata, SH, MH., 2005): 1. Etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral. 2. Etika adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana seharusnya manusia hidup dalam masyarakat mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. 3. Etika adalah kesusilaan, perasaan batin atau kecenderungan hati seseorang untuk berbuat kebaikan. 4. Etika memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika menghubungkan penggunaan akal budi individu dengan obyektivitas guna menentukan kebenaran atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain. 5. Etika adalah studi tentang kehendak manusia yaitu kehendak yang berhubungan dengan keputusan tentang yang benar dan yang salah dalam tindak perbuatan manusia berhubungan dengan prinsip-prinsip yang mendasar nilai-nilai hubungan antar manusia. 6. Etika berkaitan dengan apa yang benar dan yang salah dengan perilaku manusia. 7. Etika mempelajari tingkah laku manusia bukan saja untuk menemukan kebenaran, tetapi juga kebaikan atas perilaku manusia. 8. Dengan melihat etika berasal dari akar kata bahasa Yunani ethos yang berarti adat istiadat atau kebiasaan yang baik, etika berkembang menjadi suatu studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya. Etika juga berkembang menjadi suatu studi tentang kebenaran dan ketidak benaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia. Dalam agama Hindu etika disebut juga “susila”. Kata “susila” berasal dari dua suku kata, yakni “su” dan “sila”. Su artinya baik dan sila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang baik. Karena itu dalam agama Hindu, etika dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan, apa yang harus dikerjakan atau dihindari, sehingga tercipta hubungan yang baik diantara sesama manusia. Etika itu sendiri adalah tata laku atau perbuatan yang baik dan biasanya disebut sila. Ilmunya dinamakan ilmu tentang susila atau tata susila. Etika adalah rasa cinta, rasa kasih sayang dimana seseorang yang menerima etika itu adalah karena ia mencintai dirinya sendiri dan menghargai orang lain (Gede Pudja, MA, SH., 1984). Tata susila diartikan juga sebagai peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus dijadikan pedoman hidup oleh manusia. Tujuanya adalah untuk memelihara hubungan baik yang selaras dan serasi diantara sesama manusia, sehingga tercapailah kehidupan masyarakat yang aman dan sentosa. Tata susila juga membina watak manusia untuk bisa menjadi anggota keluarga dan anggota masyarakat yang baik, menjadi putra bangsa yang berpribadi mulia. Disamping itu tata susila juga menuntun seseorang untuk mempersatukan dirinya dengan sesame manusia (Prof. Dr. IB. Mantra, 1992). 2.2 Etika Dalam Lontar Slokantara Slokantara artinya untaian sloka-sloka. Dalam slokantara dibahas masalah etika agama Hindu yang memberi tuntunan kepada kita mengenai hal-hal yang patut dan tidak patut dilakukan. Secara keseluruhan Slokantara berisi 84 sloka (Prof. Dr. Tjok. Rai Sudharta, MA, 1997). Beberapa sloka Slokantara yang ada hubungannya dengan Etika atau Susila, yaitu sebagai berikut: 1. Sloka 3 Nasti satyat paro dharmo nanrtat patakam param triloke ca hi dharma syat tasmat satyam na lopayet Artinya: Tiada dharma yang lebih tinggi dari kebenaran Tiada dosa yang lebih rendah dari dusta Dharma harus dilaksanakan Kebenaran hendaknya tidak dilanggar Penjelasan: Kebenaran adalah hukum hidup manusia. Karena itu kebenaran dikatakan sebagai sumber dan jalan menuju kesempurnaan hidup. Kembalikanlah kekuatan anda ke bawah kekuasaan kebenaran. 2. Sloka 5 Trnakusamuditanam kancanaih kim mrganam phalatarumuditanam ratnabhirvanaranm asurabhimmuditanam gandhibhih sukaranam naca bhavati naranamtu priyam tasvisesam Artinya: Kijang perlu rumput muda, bukan emas Kera perlu buah-buahan, bukan mutiara Babi perlu makanan busuk, bukan bunga Bagi manusia berbuat baiklah yang utama. Penjelasan: Manusia hendaknya menghindari diri dari perbuatan yang tidak baik, dari perilaku yang menghantarkannya ke neraka. Semua manusia harus berusaha berbuat baik supaya tidak terjerumus ke dalam neraka, supaya bisa masuk sorga apa lagi mencapai moksa. Manusia yang mengerti masalah ini dikatakan sebagai manusia yang tahu ajaran dharma. 3. Sloka 6 Yo dharmasilo jitamanaroso vidyavinito na paropatapi svadaratustah paradaravarji na tasya loke bhayamasti kincit Artinya: Manusia yang setia pada kewajiban Mengatasi kesombongan dan kemarahan Manusia yang bijaksana dan rendah hati Manusia yang puas dan setia kepada istrinya Baginya tidak perlu ada yang ditakuti di dunia. Penjelasan: Manusia harusnya setia melaksanakan ajaran dharma. Mereka harus teguh menjalankan kebenaran, tidak boleh sombong. Manusia juga harus mendalami ilmu tentang ajaran susila, untuk mengetahui mana yang baik dan tidak baik, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Manusia hendaknya juga tidak menyakiti orang lain. Dengan memahami semua itu, maka orang itu tidak akan mengenal rasa takut. Ia pun tidak boleh mengutuk orang yang berbuat jahat kepadanya. Jika sudah demikian orang itu akan dikatakan sebagai manusia utama. 4. Sloka 7 A cirena parasya bhuyasim viparitam viganayya catmanah ksayayuktimupeksate krti kurute tatpratikaramanyatha Artinya: Orang budiman yang tinggi ilmunya Tidak menghiraukan segala usaha jahat Dan tipu muslihat untuk menjatuhkannya Jika tidak berbudi, dia membalas dendam. Penjelasan: Manusia harus teguh melaksanakan ajaran kebaikan dan kebenaran. Manusia tidak boleh membalas dendam kepada orang yang berbuat curang kepada kita. Orang yang hendak berbuat jahat dan bahkan ingin membunuh kita pastilah akan menderita dan terkena kutukan oleh perbuatannya sendiri. Kejahatan itu akan berbalik ke sumber asalnya. Ganjaran yang setimpal pasti akan diterima untuk dosa yang telah diperbuatnya. Balas dendam memang harus dihindarkan, sedangkan memaafkan kesalahan orang lain itulah yang harus dipupuk. Berbuat kesalahan adalah manusiawi dan memaafkan adalah sifat yang mulia. 5. Sloka 10 Suvarnapuspam prthivim bhunjanti catvaro narah upayajnasca surasca krtavidyah priyamvadah Artinya: Ada empat golongan manusia bahagia Orang yang tahu tujuan dan cara hidup Orang yang pemberani, orang bijaksana Dan yang pandai berbicara lagi ramah. Penjelasan: Manusia yang dapat hidup bahagia adalah mereka yang berbudi luhur, orang yang suka menolong, orang yang bijaksana, lemah lembut, adil, pemberani, dan selalu berbakti kepada Tuhan itulah orang yang akan mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan didunia. 6. Sloka13 Artha grhe nivartante smasane mitravandhavah sukrtam duskrtam caiva chayavadanugacchati Artinya: Setelah mati kekayaan akan tinggal dirumah Kawan dan saudara ikut sampai di kuburan Hanya karma, perbuatan baik dan buruk Mengikuti jiwa di kelahiran mendatang. Penjelasan: Kekayaan tidak akan terbawa mati. Yang dibawa ketika orang meninggal adalah karma yang baik ataupun yang buruk. Hanya perbuatan baik atau buruk itulah yang akan dibawa ke akhirat atau pada saat meninggal. Karma itu mengikuti jiwa. Karma itu merupakan kawan sejati jiwa. Karena itu maka selama manusia hidup sebaiknya selalu berbuat baik, berbuat kebajikan agar tercipta karma baik sebagai bekal di akhirat nanti. Jika selama hidupnya perbuatan atau karmanya baik, maka manusia bisa mendapatkan tempat disorga bahkan mencapai nirwana atau moksa. Dan sebaliknya jika manusia tersebut selalu melakukan perbuatan yang tidak baik maka ia akan mendapatkan tempat dineraka. 7. Sloka 59 Ahimsa brahmacarya ca suddhiraharalaghavam astainyamiti pancaite yama rudrena bhasitah Artinya: Tidak menyakiti, menguasai hawa nafsu Suci, makan sederhana, tidak mencuri Adalah lima macam keharusan Yang ditetapkan oleh Tuhan Penjelasan: Ada lima keharusan yang wajib dilaksanakan oleh umat Hindu. Lima keharusan itu adalah tidak menyakiti atau tidak membunuh (Ahimsa), tetapi untuk kepentingan yajna membunuh diperbolehkan, tidak mengikuti hawa nafsu (Brahmacarya), menjaga diri agar selalu bersih dan suci (Suddha), makan makanan yang sederhana (Aharalaghawa), dan tidak mencuri (Asteneya). 8. Sloka 60 Vadanam bahuvakyam nam vacanani punah-punah jnanagamyena dusita na grahitavya vicaksnaih Artinya: Caci maki, suka membual Ingkar janji dan nafsu tanpa batas Semua itu hendaknya tidak dibiasakan Karena tidak berguna jika dilaksanakan Penjelasan: Manusia, terutama para pemimpinnya diharapkan tidak megeluarkan ucapan-ucapan atau melakukan perbuatan yang tidak patut, seperti mencaci maki (Wada), suka membual (Bahuwakya), ingkar janji (Wacanapunah-punah), dan terlalu banyak memenuhi hawa nafsu tanpa pertimbangan (Jnanagamya). 9. Sloka 68 Sura sarasvati laksmi ityeta madakaranam madayanti na cetansi sa eva puruso matah Artinya: Minuman keras, kepandaian, kekayaan Ketiganya ini menyebabkan manusia mabuk Manusia yang tidak mabuk oleh ketiganya Adalah manusia yang sejati Penjelasan: Dari ketiga hal diatas yang menyebabkan manusia menjadi lupa diri, lupa daratan atau mabuk. Ketiga kemabukan dimaksud adalah mabuk karena minuman keras (Sura), mabuk karena kepandaiannya (Saraswati), dan mabuk karena kekayaannya (Laksmi). Manusia bijaksana tidak akan mabuk oleh minuman keras, kepandaian, dan kekayaannya itu. Orang yang tidak mabuk karena tiga hal tadi disebut sebagai manusia sejati (Purusa). Orang yang seperti ini pasti dicintai dan dihormati oleh orang lain. 10. Sloka 71 Agnido visadatharvau sastrghno darathikramah pisunastatra tadrani sadete hyatatayinah Artinya: Orang yang suka membakar rumah dan meracun Yang suka membunuh dan memperkosa wanita Yang suka mengadu domba dan main black magic Ke enam perbuatan itu termasuk dalam atatayi Penjelasan: Ada enam perbuatan yang digolongkan sebagai perbuatan jahat. Enam perbuatan jahat ini dinamakan Sad Atatayi (enam dosa atau kejahatan besar). Perbuatan itu adalah membakar rumah, tempat persembahyangan, kota dan lain-lain (Agnida), suka membunuh (Sastraghna), suka memperkosa wanita (Daratikrama), suka memfitnah, berkhianat atau mengadu domba (Rajapisuna), suka meracun orang lain (Wisada), dan suka main black magic, ilmu sihir (Atharwa). 11. Sloka 79 Doso pyasti guna pyasti nirdosa naiva jayate kardamadiva padmasya nale doso sti kantakaih Artinya: Ada kebaikannya ada pula keburukannya Tidak ada manusia lahir bebas dari kesalahan Seperti bunga seroja yang tumbuh di lumpur Tangkainya memiliki bulu yang gatal Penjelasan: Di dunia ini tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Pada dasarnya setiap orang mempunyai kelebihan, tetapi juga mempunyai kelemahan. Kelemahan itulah menunjukan bahwa dia itu manusia. 12. Sloka 84 Sukhasyanantaran duhkhasyanantaran sukham cakravajjagatah sarva vartate sthatarajanggamam Artinya: Duka datang setelah suka Suka datang mengikuti duka Semua makhluk di dunia ini Mengalami perputaran suka dan duka Penjelasan: Suka dan duka, kesenagan dan kesedihan itu selalu datang tak pernah berpisah. Baik orang kaya maupun orang miskin pernah mengalaminya. Tidak seorang pun dapat menghindarinya, manusia lalu berusaha berbuat baik, melaksanakan tapa, brata, yoga, samadhi, sampai berdana punia dan melaksanakan ajaran dharma lainya dengan maksud agar dapat mencapai kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan kesedihan yang sekecil-kecilnya. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan atau sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral. Etika adalah rasa cinta, rasa kasih sayang dimana seseorang yang menerima etika itu adalah karena ia mencintai dirinya sendiri dan menghargai orang lain. Slokantara artinya untaian sloka-sloka. Dalam slokantara dibahas masalah etika agama Hindu yang memberi tuntunan kepada kita mengenai hal-hal yang patut dan tidak patut dilakukan. Secara keseluruhan Slokantara berisi 84 sloka. 3.2 Saran Dengan membaca makalah ini, pembaca disarankan lebih tertarik membaca lontar-lontar Agama Hindu salah satunya Lontar Slokantara dan disarankan pula mengetahui dan memahami ajaran Etika atau Susila.

Sapi menurut Hindu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hindu merupakan agama yang universal, universal disini yang dimaksud adalah ajaran – ajaran yang terdapat dalam Hindu terdapat pula dalam agama lain. Setiap ajaran terdapat dalam kitab suci yaitu Veda yang dijadikan pedoman dan patokan umat Hindu dalam menjalankan hidup. Agama Hindu merupakan karya Tuhan yang monumental, sama monumentalnya dengan keberadaan alam semesta beserta isinya (Donder, 2006 : 138). Oleh karena itu, Sebagai karya Tuhan yang monumental, Hinduisme mengandung berbagai macam Isme atau kepercayaan, yang diantaranya Animisme (percaya bahwa segala yang ada di alam semesta ini memiliki roh), Dinamisme (kepercayaan primitif dimana semua benda itu memiliki kekuatan yang bersifat gaib), Anthropomorfisme (kepercayaan bahwa penggambaran Tuhan melalui wujud manusia maha sempurna yang memiliki kelebihan), Politeisme (kepercayaan tehadap adanya banyak Tuhan), Monisme (keparcayaan bahwa segala yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa atau Tunggal), Pantheisme (kepercayaan yang mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan), Totemisme (kepercayaan pada benda, hewan, atau tumbuh-tumbuhan yang disucikan atau dianggap suci), Kathenoisme (kepercayaan terhadap adanya Deva tertinggi), dan Monotheisme (kepercayaan adanya percaya dan menyembah hanya pada satu Tuhan. Hinduisme adalah kebenaran objektif yang intersubjektif, artinya Hinduisme adalah kebenaran fakta yang dapat menerima kebenaran dari manapun sepanjang tidak bertentangan kesemestaan (Donder, 2006 : 138). Dari Isme di atas, penulis akan membahas Isme yaitu konsep Totemisme. Totemisme merupakan percaya pada hewan atau tumbuhan yang dianggap suci, karena dianggap merupakan penjelmaan dari Deva. Di dalam Hindu banyak sekali terdapat benda, Tumbuhan dan Hewan yang suci, salah satunya adalah hewan Sapi. Gavah visvasyah matarah – sapi adalah ibu seluruh dunia (Darmayasa, 2008 : 22). Sapi dikatakan sebagai ibu dunia karena sapi mampu menghidupi dunia ini, segala yang ada dalam sapi dapat digunakan. Sapi diibaratkan bumi yang siap menghasilkan seperti bumi akan menghasilkan bahan – bahan makanan manusia seperti sayur, buah, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan sapi yang siap menghasilkan susunya setiap hari, susu tersebut di konsumsi oleh seluruh umat manusia di dunia ini. selain itu, sapi juga merupakan wahana Deva Siva yang bernama Nandini, dan sapi juga merupakan hewan peliharaan Avatara Krsna. Oleh karena itu, sudah sepatunya umat Hindu menghormati sapi dan pantang untuk memakan daging sapi, karena sapi sangat dihormati oleh umat Hindu. Inilah yang melatar belakangi penulis tertarik untuk mengangkan topik ini dalam sebuah paper yang berjudul “Keagungan Sapi dalam Budaya Hindu (Konsep Totemisme dalam Teologi dan Filsafat Hindu)”. 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana pandangan masyarakat Hindu terhadap sapi? 2. Bagaimana konsep Totemisme dalam Teologi dan Filsafat Hindu? 3. Bagaimana keagungan sapi dalam teks – teks Hindu? 1.3 Tujuan Pembahasan Dari rumusan masalah di atas, terdapat tujuan yaitu sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pandangan masyarakat Hindu terhadap sapi. 2. Untuk mengetahui konsep Totemisme dalam Teologi dan Filsafat Hindu. 3. Untuk mengetahui keagungan sapi yang terdapat dalam teks – teks Hindu. 4. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Filsafat. 1.4 Manfaat Pembahasan Manfaat teoritis Diharapkan dengan paper yang sederhana ini dapat membantu para pembaca sebagai bahan bacaan, sebagai bahan perbandingan maupun sebagai acuan dalam penulisan karya tulis yang relevan dengan paper ini. Manfaat praktis 1. Bagi mahasiswa Melalui paper ini mahasiswa diharapkan mampu memahami isi paper ini dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari. 2. Bagi masyarakat Melalui paper ini diharapkan masyarakat mengetahui dan mampu memahami makna isi paper ini dan menjadikannya pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. BAB II PEMBAHASAN 2.1.1. Pandangan Masyarakat yang ada di India Sapi memiliki kelebihan dari hewan – hewan lain dan dianggap suci, sapi juga dikatakan bahwa induk atau ibu dari semua hewah yang ada di dunia ini. Sapi banyak memberikan manfaat kepada umat manusia, sapi memberikan susunya kepada manusia dan dikatakan sebagai ibu karena setiap saat memberikan asinya kepada manusia. Selain susunya kotoran dari sapi pun sangat bermanfaat yaitu digunakan sebagai pupuk yang dapat menyuburkan bumi pertiwi. Masyarakat Hindu yang ada di India sangat menghormati sapi, bahkan mereka yang mendalami spritual Hindu amat berpantangan makan daging sapi. Sejak turunnya Avatara Krsna, sapi sudah sangat dihormati. Dalam kitab Purana yang tergolong Visnu Purana atau Satvika Purana disebutkan Krsna sebagai “Gopala” artinya pelindung sapi (Darmayasa, 2008 : 9). Dalam buku keagungan sapi menceritakan para Gopi sendiri adalah para peternak pengikut Krsna yang mengembala sapi. Sri Krsna sebagai pengembala sapi adalah lambang hubungan antara alam semesta dan segala isinya dengan Tuhan. Sri Krsna Avatara Tuhan Yang Maha Esa yang berfungsi sebagai pelindung dan pemelihara alam semesta ini. Sedangkan sapi yang digembala oleh Sri Krsna tidak lain adalah lambang alam semesta ini. Dan para Gopi adalah manusia pengikut ajaran Veda yang wajib ikut menjaga alam semesta ini untuk kebahagiaan hidup lahir dan bathin. Susu sapi yang di nikmati oleh para Gopi di Brindavana adalah susu lambang dari pada hasil bumi atau hasil alam berupa tumbuh – tumbuhan sebagai sumber makanan utama manusia. Brindavana adalah kerajaan di mana Nanda sebagai raja dan Yasoda sebagai permaisuri. Di kerajaan inilah Sri Krsna waktu kecil dipelihara agar tidak diketahui oleh Raja Kangsa, paman Sri Krsna, yang ingin membunuhnya, karena ada suatu sabda Tuhan bahwa Raja Kangsa akan dibunuh oleh Putra Devaki yang kedelapan. Di kerajaan Brindavana inilah sapi – sapi disayang, dihormati, dipelihara, dengan penuh kasih sehingga menghasilkan susu berlimpah, sumber makanan penduduk. Para Gopi di Brindavana ini adalah rakyat yang tidak berpendidikan tinggi, namun lugu, penuh dengan rasa bakti pada Tuhan, jujur dan tekun merawat sapi – sapi yang dilindungi oleh Sri Krsna. Keadaan para Gopi di Brindavana ini, adalah suatu teladan bagi mereka yang ingin mencapai kesempurnaan hidup lewat jalan bhakti dan pengabdian kepada Tuhan. Pengabdian kepada Tuhan adalah dengan jalan merawat sapi alam semesta ini yang merupakan sember kehidupan semua mahluk (Darmayasa, 2008 : 11). 2.1.2. Pandangan masyarakat yang ada di Indonesia Dewasa ini, Indonesia merupakan Negara yang memiliki keanekaragaman budaya, suku dan agama. Indonesia memiliki enam agama yang diantaranya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Islam merupakan agama terbanyak yang memiliki umat di Indonesia. Mereka memiliki hari raya di mana pada saat itu mereka melakukan upacara Kurban, mereka menyembelih hewan seperti sapi, kambing yang nantinya akan diberikan kepada pakir miskin. Upacara ini memang memiliki makna yang sangat mulia karena telah membantu pakir miskin, akan tetapi dalam konsep Hindu itu sangat menyalahi aturan. Seperti yang dijelaskan dalam buku keagungan sapi bahwa sapi merupakan ibu dari alam semesta. Semestinya kita sangat menghormati sapi, dan sapi tidak pantas untuk dibunuh atau disembelih, walaupun tujuannya mulia untuk membantu para pakir miskin. Tidak sepantasnya kita membahas ini lebih lanjut, karena setiap agama itu memiliki konsepnya masing – masing. Masyarakat Hindu yang ada di Indonesia pada umumnya, khususnya Bali menggunakan sapi sebagai simbol dalam upacara Pitra yadnya yaitu upacara Ngaben yang menggunakan sapi atau lembu menjadi sarana yang sangat penting dalam pembakaran jenazah. Dalam hal ini lembu tersebut adalah lambang alam semesta atau bumi (Darmayasa, 2008 : 4). Akan tetapi didalam kehidupan umat Hindu Bali belum paham akan penghormatan kepada sapi. Banyak umat Hindu yang tidak menghormati sapi seperti pada saat membajak sawah sapi dipukul, ditendang, dipaksa untuk membajak sawah, bahkan lebih parah lagi masih ada yang membunuh sapi dan memakan daging sapi. Dalam Catur Veda sudah jelas dikatakan bahwa : Mata rudranam duhita vasunam Svasadityanamamrtasya nabhih Pranuvocam cikituse janaya Ma gamanagamaditim vadhistira. Sapi adalah ibu dari sebelas Rudra, putri dari para vasu, Saudari dari putra – putra Aditi, saudari Sri visnu, Pokok persembahan kurban – kurba para dewa. Karena itu, ku umumkan kepada orang – orang berbudi pekerti dan bijaksana, Jangan membunuh sapi yang tidak berdosa dan yang tidak doleh dibunuh. Rg Veda. 8. 11. 15. Dari sloka diatas sangat jelas ditegaskan Ma Vadhistha artinya jangan dibunuh. Kata anagam dan aditim yang artinya dia yang tidak berdosa dan dia yang sama sekali tidak boleh dibunuh. Karena sapi adalah ibu dari para Rudra, sapi adalah putri dari para Vasu, saudari dari Sri Visnu, saudari dari Aditya, karena sapi adalah pokok dari para yajna pusat dari amerta, karena sapi adalah anaga atau tidak berdosa, maka kuukmukan ma vadhistha, jangan dibunuh. Cikituse janaya juga sangat bermakna, yaitu permintaan ini, harapan ini, pengumuman ini, atau doa ini ditujukan kepada orang – orang berbudi pekerti dan bijaksana. 2.5 Konsep Totemisme dalam Teologi dan Filsafat Hindu Hindu mengenal berbagai konsep yang salah satunya adalah konsep Totemisme. Totemisme adalah keyakinan akan adanya binatang keramat yang sangat dihormati. Binatang tersebut diyakini memiliki kesaktian. Umumnya adalah binatang binatang mitos, juga binatang tertentu di alam yang dianggap keramat (Titib, 1996 : 86). Dalam buku teologi kasih semesta dijelaskan bahwa pendapat lain mengenai pengertian Totemisme adalah adalah kepercayan pada benda atau tumbuh – tumbuhan atau hewan – hewan yang disucikan (dianggap suci) karena dianggap sebagai penjelmaan dewa yang merupakan nenek moyang kita. Dari pengertian di atas, Hindu memiliki ajaran yang tidak ada di aama lain. Hindu memberikan penghormatan kepada benda, tumbuhan dan sapi yang dianggap suci. Dalam beberapa sloka yang terdapat dalam Bhagavadgita juga menjelaskan mengenai Totemisme yang diantaranya : asvatthah sarva-vrksanay devarį¹£inam ca naradah gandharvanam citrarathah siddhanam kapilo munih Di antara semua pohon, aku adalah pohon beringin. Di antara resi di kalangan para dewa Aku adalah Narada. Di antara para Gandharva Aku adalah Citraratha, dan Di antara makhluk-makhluk yang sempurna Aku adalah resi Kapila. Bhagavad Gita X. 26. Pohon beringin (asvattha) adalah salah satu di antara pohon – pohon yang paling tinggi dan paling indah, dan banyak pengikut Veda memuja pohon itu sebagai salah satu ritual yang dilakukan pagi – pagi setiap hari. Di antara para dewa, mereka juga menyembah Narada, penyembah yang paling mulia di alam semesta. Karena itu, Narada adalah perwujudan Krsna sebagai seorang penyembah. Planet Gandharva penuh dengan makhluk yang menyanyi dengan merdu sekali, dan diantara semuanya, penyanyi terbaik adalah Citraratha. Di antara semua makhluk hidup sempurna, Kapila putera Devahuti, adalah perwujudan dari Krsna. Kapila adalah penjelmaan dari Krsna, dan filsafat Kapila disebut dalam Srimad-Bhagavatam. Kemudian ada orang lain yang bernama Kapila yang menjadi terkenal, tetapi filsafat Kapila yang kedua tidak percaya kepada Tuhan. Karena itu ada perbedaan besar antara antara Kapila yang pertama dan Kapila yang kedua. Menurut Donder (2006 : 215) yang menyatakan bahwa konsep totemisme di dalam agama Hindu dapat ditemukan dalam bebrapa sloka antara lain ; 2.2.1 Benda – benda Totemisme dalam Hinduisme Totemisme sebagaimana diuraikan di atas, bahwa didalamnya terdapat beberapa isme, salah satu dintaranya adalah unsur kepercayaan terhadap benda – benda yang dianggap keramat (Donder, 2006 : 216). Dalam kitab suci Bhagavadgita terdapat beberapa perumaan dari Sri Krisna yang berkaitan dengan benda – benda totemisme yang diantaranya ; sthavaranam himalayah ‘di antara benda – benda yang tak bergerak Aku (Tuhan) adalah gunung Himalaya’ (Bhagavadgita X : 25). Kalimat ini mengandung arti bahwa Tuhan dalam hal ini diwujudkan sebagai Krsna diumpamakan sebagai benda yang tertinggi di dunia yaitu gunung Himalaya, yang berarti Sri Krsna dalam hal ini manifestasi dari Tuhan merupakan yang tertinggi dan paling mulia. Kalimat yang lain yaitu sarasam asmi sagarah ‘di antara danau Aku (Tuhan) adalah samudera’ (Bhagavadgita X : 24). Kalimat ini menjelaskan bahwa di antara semua sumber air, samuderalah (lautan) yang paling besar. Dari segala perwujudan Tuhan sebagai Krsna, hanya memberi isyarat – isyarat tentang kebesaran Tuhan. Di bawah ini salah satu Sloka dalam Bhagavadgita yang menunjukan Tuhan dalam perumpamaannya sebagai benda – benda totemisme yaitu sebagai berikut : Adityanam aham visnur jyotisam ravir amsuman Maricir marutam asmi Naksatranam aham sasi Di antara para Aditya aku adalah Visnu Di antara sumber – sumber cahaya Aku adalah matahari yang cerah di antara para Marut Aku adalah Marici di antara bintang – bintangAku adalah bulan Bhagavadgita X. 21. Dari sloka di atas, dijelaskan dua belas Aditya. Krsna adalah yang paling utama di antara dua belas Aditya itu. Di antara semua sumber cahayadi langit, mataharilah yang paling utama, dalam brahma-Samhita matahri diakui sebagai mata-Nya Tuhan Yang Maha Esa yang cemerlan. Ada lima puluh jenis angin ysng bertiup di angkasa. Di antara angin – angin itu, Marici, dewa yang menguasainya, adalah lambang Krisna. Di antara bintang – bintang, bulanlah yang paling terkemuka pada waktu malam. Karena itu, bulan adalah lambang Krsna. Dari ayat ini, bulan adalah salah satu bintang – bintang yang berkelap kelip di angkasa juga mencerminkan dari cahaya matahari. Teori bahwa ada banyak matahari dalam alam semesta tidak diakui oleh kesusastraan Veda. Matahari adalah satu, bintang – bintang memancarkan cahaya yang dipantulkan dari matahari. Seperti halnya bulan juga memancarkan cahaya yang dipantulkan dari matahari. Oleh karena Bhagavad-gita menunjukan disini bahwa bulan adalah salah satu bintang, binang yang berkelap – kelip bukan matahari – matahari, tetapi serupa dengan bulan (Prabhupada, 1987 : 531). Kalimat – kalimat wejangan Sri Krsna tersebut di atas bermaksud menjelaskan bahwa jika Tuhan diumpamakan benda – benda, maka segala sesuatu yang terbesar, terhebat yang tiada tandingannya, adalah wujud yang boleh digunakan untuk mewakili perumpamaan itu (Donder, 2006 : 216). Walaupun sesungguhnya benda – benda itu bukanlah Tuhan itu sendiri, maka tidak salah jika manusia mengagung–agungkan bahkan menyembah perumpamaan – perumpamaan yang diwejangkan oleh Sri Krsna. Donder (2006 : 217) mengatakan tidak ada kata salah bagi proses pendakian spiritual, seorang pendaki gunung akan selalu menemukan berbagai level “tempat peristirahatan sementara” yang semakin memperluas pandangan dan lebih mengasikan perjalanan pendakiannya. 2.2.2 Tumbuh – tumbuhan Totemisme dalam Hinduisme Totemisme sebagai konsep Hindu yang didalamnya terdapat kepercayaan terhadap tumbuh – tumbuhan yang dianggap keramat atau suci. Di dalam kitab Bhagavadgita, Catur Veda, kitab Purana menyebutkan beberapa tumbuhan – tumbuhan yang dianggap suci, seperti pohon Beringin, pohon Tulasi, pohon Bilva, pohon Kalpavrksa tanaman Soma. Di dalam Bhagavadgita terdapat beberapa Sloka yang menyebutkan tumbuh – tumbuhan yang dianggap suci yaitu : Asvatthah sarva-vrksanam ‘Di antara semua pohon, Aku (Tuhan) adalah pohon beringin’ (Bhagavadgita X.26). Kalimat ini menjelaskan bahwa pohon beringin (asvattha) adalah salah satu di antara pohon – pohon yang paling tinggi dan paling indah, dan banyak pengikut Veda memuja pohon itu sebagai salah satu ritual yang dilakukan pagi – pagi setiap hari (Prabhupada, 1989 : 534). Asvattha juga dijelaskan dalam Rg Veda sebagai pohon suci. Selain pohon Beringin, pohon Tulasi juga merupakan pohon yang dianggap suci dan pohon ini sangat identik dengan keberadaan Avatara Sri krsna. Donder (2006 : 217) menceritakan bahwa dalam kitab Brahmavaivarta Purana, dikisahkan seorang raja Kusadhavaja memiliki seorang putri yang sangat cantik hingga anak itu diberi nama Tulasi yang artinya tidak tertandingi. Tulasi yang cantik ini jatuh cinta pad Sri krsna, namun karena berbagai hal menyangkut rangkaian karma Tulasi ini tidak gampang untuk meraih lelaki pujaannya dalam artian fisik. Berbagai rintangan telah dilalui hingga harus bersuami dengan seorang raksasa ganteng bernama Sankhacuda. Oleh skenario Sri Krsna sendiri, sankhacuda meninggal dalam pertempuran. Untuk mendamaikan hati sang janda (Tulasi), maka Sri Krsna memberitahukan Tulasi akan mendapatkan tubuh kedewataan untuk bisa masuk kedalam Vaikuntaloka tempatnya Sri Krsna. Di sana Tulasi akan bersatu kembali dengan Sri krsna, sedangkan tubuh fisiknya yang masih ada di bumi akan menjadi sungai Gandaki yang suci dan mengalir melalui Bharatavarsa, dan rambutnya akan tumbuh menjadi tanaman Tulasi yang suci. Sejak itu dikenallah tanaman Tulasi itu sebagai tanaman suci. Diuraikan dalam Purana, apabila seseorang mandi dengan menggunakan air yang sudah disucikan menggunakan Tulasi, itu sama artinya dengan melakukan Tirthayatra ke semua tempat suci. Jika orang berkata – kata yang tidak pantas ketika memegang Tulasi, maka akan mendapatkan neraka dengan waktu yang sangat lama. Donder (2006 : 219) menyatakan ada juga tanaman lainnya yang dihormati yaitu tanaman Soma yang kurang lebih desebut sebanyak 140 kali dalam Veda. Tanaman Soma ini diartikan “manis (madu) kenikmatan” dari kebahagiaan yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Soma merupaka minuman apar dewa. Pohon Bilva dipercaya sebagai pohon suci, yang masyarakat Bali biasa menyebutnya dengan nama Bila atau Maja. Selain jenis tanaman di atas, pohon Kalpavrksa juga dikenal sebagai tumbuhan suci yang hidupnya di khayangan (devaloka). Di katakan pohon ini akan mengabulkan apa saja yang dimohonkan oleh seseorang. Tumbuh – tumbuhan ini merupakan tumbuhan yang memiliki kedudukan yang sangat penting baik dalam hubungannya memperkuat keyakinan kepada Tuhan ataupun fungsinya sebagai sarana untuk mengenang kembali hubungan asal – usul atau silsilahnya (Donder, 2006 : 221). Dan karena tumbuhan tersebut memiliki fungsi religi, maka wajarlah umat manusia mengagung – agungkan dan memuja tumbuhan tersebut. 2.2.3 Hewan – hewan Totemisme Selain kepercayaan terhadap benda dan tumbuha suci, dalam totemisme juga menjelaskan mengenai kepercayaan akan adanya hewan – hewa suci. Di dalam kitab Bhagavadgita, Sri Krsna dalam wejangannya terdapat perumpamaan – perumpamaan dari Sri Krsna (Tuhan), seperti : dhenunam asmi kamadhuk ‘di antara sapi – sapi Aku (Tuhan) adalah surabhi’ (Bhagavadgita X : 28). Di Krsnaloka di angkasa rohani sapi – sapi yang dapat di perah pada setiap saat, dan sapi – sapi itu memberi susu sebanyak apa yang diinginkan seseorang. Tentu saja, sapi –sapi seperti itu tidak ada di dunia material ini, tetapi disebut bahwa sapi –sapi itu ada di Krsnaloka. Krsna memelihara banyak sapi –sapi seperti itu yang disebut surabhi. (Prabhupada 1989 : 536). Sarpanam asmi vasukih ‘di antara ular – ular Aku (Tuhan) adalah vasuki (Bhagavadgita X : 28). Di bawah ini sebuah Sloka yang menunjukan perumpamaan dari Tuhan, yaitu sebagai berikut : Uccaihsravasam asvanam viddhi mam amrtodbhavam Airavatam gajendranam naranam ca naradhipam Ketahuilah bahwa di antara kuda – kuda Aku adalah Uccaihsrava, yang diciptakan pada lautan dikocok untuk menghasilkan minuman kekekalan. Di antara gajah – gajah yang agung Aku adalah Airavata, dan di antara manusia Aku adalah raja. Bhagavadgita X.27. Donder (2006 : 221) mengatakan bahwa penggunaan pigur benda, tumbuhan, dan hewan – hewan tertentu untuk mengumpamakan kemahakuasaan Tuhan adalah sebagai sarana yang berfungsi untuk menjunjung metodologi penanaman Sradha (keimanan). Jika benda – benda, tumbuh – tumbuhan, dan hewan – hewan itu kemudian berubah fungsi menjadi isme ataupun dogma, dan bukan sekedar mitos, maka hal itu merupakan proses pendakian spiritual. Sebagai seorang pemula dalam pendaki spiritual pasti akan menemukan kepercayaan terhadap isme ini. Dan dengan perumpamaan – perumpamaan ini, setidaknya manusia akan lebih menghargai keberadaan benda, tumbuhan dan hewan – hewan tersebut, sehingga akan tercipta keharmonisan yang seimbang di alam semesta ini. 2.6 Keagungan Sapi dalam Teks – Teks Hindu Keagungan sapi terdapat dan tertulis dalam teks – teks Hindu, seperti yang terdapat dalam kitab Catur Veda yang terdiri dari ; Rg Veda, Sama Veda, Yajur Veda, dan atharva Veda. Selain Catur Veda, Hindu juga mengenal kitab Bhagavadgita yang dimana isi dari kitab Bhagavadgita adalah percakapan dari Sri krsna dan Arjuna yang menceritakan tentang kewajiban-kewajiban umat manusia. Berikut ini adalah bukti-bukti tentang keagungan sapi yang terdapat dalam teks – teks Hindu adalah sebagai berikut : 2.3.1 Rg Veda Rg Veda merupakan salah satu bagian dari Catur Veda, di bawah ini beberapa sloka yang menggambarkan tentang keagungan sapi yang terdapat dalam Rg Veda sukta 28, yaitu diantaranya : a gavo agmann uta bhadm akran sidantu gosthe Ranayantv asme prajavatih pururupa iha syur indraya Purvir uso duhanah Semoga sapi – sapi datang dan membawakan kami peruntungan baik Biarlah mereka tinggal dalam kandang kami dan menikmatinya dalam kebersamaan dengan kami semoga banyak sapi yang berwarna – warni membawa kemari susu melimpah guna persembahan pada penguasa maha cemerlang di banyak fajar Rg Veda 6.28.1. na ta nasanti na dabhati taskaro nasam amitro vyathir a dadharsati devams ca yabhir yajate dadati ca jyog it tabhih secate gopatih saha jangan biarkan sapi – sapi berlarian menyingkir dari kami jangan biarkan pencuri mengambilnya jangan biarkan senjata musuh menimpanya semoga majikan dari ternak lama memilikinya dengan hasil susu yang dapat dijadikan persembahan dan dapat dipakai untuk melayani manusia ilahi Rg Veda 6.28.3. Na ta arva renukakato asnute na Samskrtatram upe yanti ta abhi Urugayam abhayam tasya ta anu gavo Martasya vi caranti yajvanah Jangan biarkan sapi – sapi menjadi korban kuda perang yang angkuh dan yang menimbulkan debu. Jangan biarkan mereka jatuh ketangan para penjagal atau tokonya. Biarlah ternak orang – orang, kepala rumah tangga, bebas bergerak dan merumput tanpa rasa takut. Rg Veda 6.28.4. Gavo bhago gava indro me acchan Gavah somasya prathamasya bhaksah Ima ya gavah sa janasa indra Icchamid dhrda manasa cid indram Semoga sapi – sapi menjadi kemakmuran kami, semoga penguasa maha cemerlang menganugrahi kami ternak : semoga sapi –sapi menghasilkan makanan (susu dan mentega) dari sesajian pertama. Wahai manusia, sapi – sapi ini sacral seperti penguasa maha cemerlang itu sendiri, - penguasa yang berkahnya kami dambakan, dengan kepala dan hati. Rg Veda 6.28.5 Yuyam gavo madayatha krsam cid Asriram cit krnutha supratikam Bhadram grham krnutha bhadravaco Brhad vo vaya ucyate sadhasu Wahai sapi, engkau bahkan memperkuat yang lelah dan using serta membuat yang tak menyenangkan menjadi indah dipandang. Kelembutanmu menguntungkan dan menjadi makmur. Sangat agung kelimpahan yang dikenakan padamu dalam upacara keagamaan kami. Rg Veda 6.28.6. Prajavatih suyavasam risantih suddha Apah suprapane pibantih Ma van stena isata maghasamsah pari Vo heti rudrasya vrjyah Wahai sapi – sapi, semoga engkau memiliki banyak anak sapi yang merumput pada padang rumput yang baik dan minum air tawar pada kolam yang mudah dicapai. Semoga tak ada pencuri yang menjadi majikanmu. Semoga tak ada binatang buas pemangsa yang menyerangmu dan semoga paser dari penguasa vital tak pernah menimpanya. Rg Veda 6.28.7. Sloka di atas menunjukan betapa dihormatinya seekor sapi dalam Rg Veda sapi akan senantiasa memeberikan susunya yang melimpah untuk kesejahteraan umat manusia. Darmayasa (2009 : 33) menyatakan bawa siapa pun atau keadaan apa pun yang didatangi oleh sapi akan menjadi sejahtera. Upacara suci yang didatangi oleh sapi akan menjadi berhasil, kendati ada kekurangan perlengkapan dan doa. 2.3.2 Yajur Veda Darmayasa (2009 : 36) dalam Yajur Veda mengatakan apyayadhvamaghnya Lindungilah sapi, dia yang bagaimanapun juga tidak boleh dibunuh. Dibawah ini bebrapa sloka yang terdapat dalam Yajur Veda yaitu sebagai berikut : Brahma suryasamam jyotir Dyauh samudrasamam sarah Indrah prthivyai varsiyan Gostu matra na vidyate Sinar dari pengetahuan bisa bibandingkan dengan matahari, surge bisa perbandingan dengan lautan, ibu pertiwi adalah sangat cepat, lebih cepat lagi adalah indra, tetapi catatlah….., bahwa sapi tidak pernah dapat diperbandingkan dengan apa pun. Yajur Veda 23.48. Imam sahasram satadharamutsam Vyacyamanam sarirasya madhye Ghrtam duhanamamditim janaya Agne ma hinsih paramevyoman Dia yang melindungi dan memelihara ratusan bahkan ribuan, dia yang merupaan sumber dari susu, dia yang membagi – bagikan susu kepada orang, dia yang aditi (dia yang tidak boleh dipotong menjadi bagian – bagian), jangan menyiksa sapi yang demikian di dunia ini. Yajur Veda 13.49. 2.3.3 Sama Veda Rg Veda menjelaskan mengenai jangan menyakit sapi, begitu juga pada Sama Veda yang menganjurkan untuk tidak menyakiti sapi. Di bawah ini akan di sebutkan salah satu sloka yang terdapat dalam Sama Veda yang menjelaskan mengenai keagungan sapi yaitu sebagai berikut : Na ki deva inimasi na kyayopayamasi Mantrasrutyam caramasi yaitu kita bertindak sesuai dengan perintah, yang terkandung dalam himne Weda. kita, oleh karena itu, tidak pernah resor untuk pembantaian manusia atau lainnya dan kami tidak pernah mencobai siapapun untuk melawan tugas-tugasnya. Sama veda 176. Dalam Sama Veda dijelaskan bahwa hendaknya bertindak sesuai dengan perintah yang terdapat dalam mantra – mantara Veda (Darmayasa, 2009 : 42). Karena itu, kita hendaknya jangan menyakiti bahkan membunuh orang atau makhluk – makhluk lain di dunia ini. Seluruh bagian – bagian dari Veda menjelaskan untuk tidak menyakiti sapi bahkan membunuh sapi. 2.3.4 Atharva Veda Atharva Veda merupakan bagian dari catur veda yang terakhir, isi dari Atharva Veda hampir sama dengan bagian – bagian Veda yang lain. Dibawah ini beberapa sloka dalam Atharva Veda yang mengagungkan sapi yaitu sebagai berikut : Namaste jayamanayai jataya uta ten amah Balebhyag saphebhyo rupayaghnyai ten amah Wahai sapi aghnye, Anda yang tidak boleh dibunuh! Pada saat kelahiran Anda aku menyampaikan sembah sujud, setelah Anda lahir pun aku menyampaikan sembah sujud, untuk keseluruhan badan dan wujud Anda, bahkan sampai dengan bulu dan kuku Anda pun aku enyampaika sembah sujud. Atharva Veda 10.10. Gobhyo asvebhyo namo yacchalayam vijayate Vijavati prajavati vi te pasanscrtamas Dia yang dilahirkan di rumah, kepada sapid an kepada kuda seperti itu sembah sujudku. Wahai rumah di mana sapi dilahirkan dan di mana anak –anak sapi berada, semua akan dibebaskan dari masalah, semua akan dibebaskan dari ikatan – ikatan. Atharva Veda 9.3.13. Jadi, kesimpulan akhir Rg Veda, Yajur Veda, Sama Veda, dan Atharva Veda adalah GAM MA HINSIH atau JANGAN MEMBUNUH SAPI (Darmayasa, 2009 : 55). BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Hindu mengenal konsep – konsep isme, yang salah satunya totemisme yaitu percaya dengan benda, tumbuhan dan hewan – hewan yang dianggap suci. Dalam Hindu hewan yang dianggap suci yaitu sapi. Sapi dikatakan sebagai ibu alam semesta. Seperti halnya bumi yang memberikan hasil yang merimpah ruah sperti bahan pangan, dan berbagai kebutuhan umat manusia, begitu juga sapi yang telah memberikan susunya kepada umat manusia. Dewasa ini, umat Hindu yang di dunia, khususnya Indonesia dan India memiliki pandangan yang berbeda tetang sapi. Di India, umat Hindu sangat menghargai adanya sapi, tidak menyakiti bahkan membunuh sapi. Lain halnya dengan umat yang ada di Indonesia, khususnya Bali sanngat tidak menghargai sapi, masih banyak masyarakat yang memakan daging sapi, menyakiti sapi ketika membajak sawah. Padahal hal ini sudah jelas tertulis dalam kitab suci Hindu yaitu Veda yang melarang untuk menyakit bahkan membunuh sapi. Dalam Catur Veda, jelas dikatakan bahwa gam ma hinsih yang artinya jangan membunuh sapi. Sapi harus dihormati, dihargai, tidak boleh disakiti bahkan dibunuh. Berbagai teks – teks Hindu yang menjelaskan tentang keagungan sapi dan melarang untuk menyakitinya. 3.2 Saran Sebagai umat Hindu, kita harus bisa mengimplementasikan dari ajaran – ajaran Veda. Setiap sloka yang terdapat dalam Veda harus mampu dipahami dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari - hari. Dalam konsep Hindu yaitu totemisme yang menganggap sapi sebagai hewan suci, dan jelas tertulis dalam sloka – sloka Veda bahwa umat Hindu sangat menghormati dan menghargai sapi. Oleh karena itu, sangat dilarang bagi umat Hindu untuk makan daging sapi, membunuh sapi, menyakiti sapi, karena sapi telah membantu manusia dalam menjalankan kehidupan ini. DAFTAR PUSTAKA Darmanyasa, Made. 2008. Keagungan Sapi menurut Weda. Denpasar : Pustaka Manikgeni. Donder, I Ketut. 2006. Brahmavidya : Teologi Kasih Semesta. Surabaya : Paramita. Maswinara, I Wayan. 2004. Rg Veda Samhita. Surabaya : Paramita. Swami Prabhupada, Sri-Srimad A.C. Bhaktivedanta. 2006. Bhagavadgita. Indonesia : Hanuman Sakti. Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci. Surabaya : Paramita.